Senin, 11 April 2016

Jangan Nikah Karena Latah

Belakangan ini perbincangan menyoal perkewongan alias pernikahan kian santer ditempat saya kerja. Alasannya karena memang jumlah lajang non pacar maupun lajang dengan pacar jumlahnya terbilang sangat sedikit. Jadilah isu jodoh-jodohan ini makin asyik dikemukakan oleh segelintir pihak yang merasa dirinya sudah terlebih dahulu laku.

Saya termasuk yang gencar menjadi korban bully tersebut. Saya yang memang dasarnya ga terlalu memberi lahan khusus untuk mikirin soal begituan jadi sedikit kepikiran. Terlebih beberapa teman terdekat saya kebanyakan sudah tidak lagi single – sebuah eufemisme dari kata jomblo – sehingga begitu kerasa saat mengajak mereka main lantas mereka tidak bisa dengan dalih sudah ada janji dengan pasangan masing-masing.

Kembali ke urusan pernikahan. Bagi saya, nikah bukan cuma menyoal urusan selangkangan dan pembuktian kejantanan. Dengan dalih menghindari maksiat atau sudah terlanjut maksiat, banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi berbondong-bondong bikin buku merah ijo itu. Padahal nyatanya nikah tidaklah sesederhana itu. Saya tidak bermaksud memperumit pernikahan tapi saya merasa bahwa kita tidak bisa lantas meremehkannya juga.

Saya cukup miris dengan adanya kesan bahwa nikah adalah satu-satunya jalan bagi seseorang untuk bahagia. Ini tidak sepenuhnya salah namun tidak juga benar keseluruhannya. Pernikahan akan menjadi sebuah kebahagiaan jika kedua belah pihak memang sudah siap dan tahu tugas serta tanggung jawab masing-masing. Namun alangkah menyedihkannya melihat fenomena saat ini. Ketika sebuah pernikahan menjadi seperti tempat pelarian dari ketidak-beresan hidup.

Seorang mahasiswi yang cape kuliah lantas meronta-ronta di sosial media minta untuk segera dinikahi. Seorang perempuan yang sudah letih berkerja lantas menjadikan penikahan sebagai kunci agar hidupnya bahagia. Hal ini didukung dengan tayangan dan bacaan ( terutama novel ) yang menghadirkan sebuah fantasi pernikahan yang sempurna. Pasangan yang berwajah menarik, rumah mungil, cinta yang bersambut dan bermacam tetek-bengkek yang tentu jika dihadirkan didunia nyata terasa terlalu imajiner. Kenapa saya menyebutkan perempuan dalam contoh kasus diatas ? bukan saya diskriminasi gender tapi sepenglihatan saya. Rata-rata yang seperti itu adalah kaum hawa.

Padahal jika ditelaah lebih lanjut. Pernikahan tidaklah dijalankan setahun dua tahun. Dua ego dari dua kepala yang dibesarkan didua tempat berbeda disatukan dalam satu atap. Bukankah perlu komitmen dan pemahaman yang dalam dari masing-masing agar rumah tersebut memilikii tiang yang kukuh, pondasi yang kuat serta atap yang teguh sehingga rumah tangga dapat bertahan selamanya ?

Kakak perempuan saya pernah bilang” Jika lu belum siap nikah, mending ga usah. Jalan-jalan sana yang jauh. Sekolah yang tinggi. Senengin diri sendiri dulu. Sebab setelah nikah setengah dari kesenangan tersebut ga bisa lagi dinikmati. Nikah itu ada enak ada ga enaknya. Sialanya ga enaknya banyak kalau kita ga pandai-pandai mensiasatinya”.

Makanya saya tidak heran melihat beberapa teman sekolah saya, atau adik kelas saya atau juga kakak kelas saya yang dilihat dari media sosialnya mengalami rumah tangga yang menyedihkan. Mereka kerap mengeluh sebab pasangannya tidak lagi seromantis dulu, seperhatian dulu. Bahkan ada juga yang sampai memaki-maki pasangannya dan mengibahkan kelakuannya di media sosial. Begitu miris bukan ? beberapa diantaranya bertahan entah dengan kondisi bahagia atau tidak. Dan tidak sedikit juga yang memilih menjadi janda muda. Sungguh disayangkan kan ?

Kesiapan ini tidak hanya harus dimiliki oleh sang perempuan yang memang nyatanya memiliki beban psikologis jauh lebih tinggi setelah menikah ketimbang laki-laki. Tapi sang laki-lakipun harus siap lahir batin dan cukup pengetahuan bagaimana menjadi imam yang baik. Seorang anak perempuan dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtuanya bukan untuk disia-siakan dan dihinakan oleh laki-laki yang menjadi suaminya bukan ? pikirkan baik-baik sebelum melangkahkan kaki menuju gerbang perkawinan.

Saya merasa menulis ini hanya sebatas perenungan untuk diri saya sendiri. Apakah saya ingin menikah hanya sebatas latah atau memang sudah siap menjalani sisa hidup saya dengan orang lain yang saya anggap tepat.
 
Sumber Gambar : http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/931993/big/001352100_1437310858-header_thestir_cafemom_com.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.