Belakangan
ini perbincangan menyoal perkewongan alias pernikahan kian santer
ditempat saya kerja. Alasannya karena memang jumlah lajang non pacar
maupun lajang dengan pacar jumlahnya terbilang sangat sedikit. Jadilah
isu jodoh-jodohan ini makin asyik dikemukakan oleh segelintir pihak yang
merasa dirinya sudah terlebih dahulu laku.
Saya
termasuk yang gencar menjadi korban bully tersebut. Saya yang memang
dasarnya ga terlalu memberi lahan khusus untuk mikirin soal begituan
jadi sedikit kepikiran. Terlebih beberapa teman terdekat saya kebanyakan
sudah tidak lagi single – sebuah eufemisme dari kata jomblo – sehingga
begitu kerasa saat mengajak mereka main lantas mereka tidak bisa dengan
dalih sudah ada janji dengan pasangan masing-masing.
Kembali
ke urusan pernikahan. Bagi saya, nikah bukan cuma menyoal urusan
selangkangan dan pembuktian kejantanan. Dengan dalih menghindari maksiat
atau sudah terlanjut maksiat, banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi
berbondong-bondong bikin buku merah ijo itu. Padahal nyatanya nikah
tidaklah sesederhana itu. Saya tidak bermaksud memperumit pernikahan
tapi saya merasa bahwa kita tidak bisa lantas meremehkannya juga.
Saya
cukup miris dengan adanya kesan bahwa nikah adalah satu-satunya jalan
bagi seseorang untuk bahagia. Ini tidak sepenuhnya salah namun tidak
juga benar keseluruhannya. Pernikahan akan menjadi sebuah kebahagiaan
jika kedua belah pihak memang sudah siap dan tahu tugas serta tanggung
jawab masing-masing. Namun alangkah menyedihkannya melihat fenomena saat
ini. Ketika sebuah pernikahan menjadi seperti tempat pelarian dari
ketidak-beresan hidup.
Seorang
mahasiswi yang cape kuliah lantas meronta-ronta di sosial media minta
untuk segera dinikahi. Seorang perempuan yang sudah letih berkerja
lantas menjadikan penikahan sebagai kunci agar hidupnya bahagia. Hal ini
didukung dengan tayangan dan bacaan ( terutama novel ) yang
menghadirkan sebuah fantasi pernikahan yang sempurna. Pasangan yang
berwajah menarik, rumah mungil, cinta yang bersambut dan bermacam
tetek-bengkek yang tentu jika dihadirkan didunia nyata terasa terlalu
imajiner. Kenapa saya menyebutkan perempuan dalam contoh kasus diatas ?
bukan saya diskriminasi gender tapi sepenglihatan saya. Rata-rata yang
seperti itu adalah kaum hawa.
Padahal
jika ditelaah lebih lanjut. Pernikahan tidaklah dijalankan setahun dua
tahun. Dua ego dari dua kepala yang dibesarkan didua tempat berbeda
disatukan dalam satu atap. Bukankah perlu komitmen dan pemahaman yang
dalam dari masing-masing agar rumah tersebut memilikii tiang yang kukuh,
pondasi yang kuat serta atap yang teguh sehingga rumah tangga dapat
bertahan selamanya ?
Kakak
perempuan saya pernah bilang” Jika lu belum siap nikah, mending ga
usah. Jalan-jalan sana yang jauh. Sekolah yang tinggi. Senengin diri
sendiri dulu. Sebab setelah nikah setengah dari kesenangan tersebut ga
bisa lagi dinikmati. Nikah itu ada enak ada ga enaknya. Sialanya ga
enaknya banyak kalau kita ga pandai-pandai mensiasatinya”.
Makanya
saya tidak heran melihat beberapa teman sekolah saya, atau adik kelas
saya atau juga kakak kelas saya yang dilihat dari media sosialnya
mengalami rumah tangga yang menyedihkan. Mereka kerap mengeluh sebab
pasangannya tidak lagi seromantis dulu, seperhatian dulu. Bahkan ada
juga yang sampai memaki-maki pasangannya dan mengibahkan kelakuannya di
media sosial. Begitu miris bukan ? beberapa diantaranya bertahan entah
dengan kondisi bahagia atau tidak. Dan tidak sedikit juga yang memilih
menjadi janda muda. Sungguh disayangkan kan ?
Kesiapan
ini tidak hanya harus dimiliki oleh sang perempuan yang memang nyatanya
memiliki beban psikologis jauh lebih tinggi setelah menikah ketimbang
laki-laki. Tapi sang laki-lakipun harus siap lahir batin dan cukup
pengetahuan bagaimana menjadi imam yang baik. Seorang anak perempuan
dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtuanya bukan untuk disia-siakan dan
dihinakan oleh laki-laki yang menjadi suaminya bukan ? pikirkan
baik-baik sebelum melangkahkan kaki menuju gerbang perkawinan.
Saya
merasa menulis ini hanya sebatas perenungan untuk diri saya sendiri.
Apakah saya ingin menikah hanya sebatas latah atau memang sudah siap
menjalani sisa hidup saya dengan orang lain yang saya anggap tepat.
Sumber Gambar : http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/931993/big/001352100_1437310858-header_thestir_cafemom_com.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.