“Ayah, bagaimana kabar ayah disana ? Ayah baik-baik
saja kan ? Yah, ini tepat seminggu sejak ayah pergi. Wah, rasanya baru kemarin
sore kita ngobrol diteras depan sambil minum teh hangat buatan ibu ya, yah”
Ingat ga, biasanya sepulang kerja dan ayah kehujanan
pasti ayah minta dibuatkan teh hangat. Dan aku pasti minta dibuatkan juga. Dan
ibu pasti membuatkan teh hangat itu untuk kita berdua. Ayah digelas yg besar (
soalnya perut ayah kan besar ) sedang aku di gelas yg kecil.
Kadang ibu juga bikin pisang goreng untuk kita.
Sekarang gelas ayah masih ada. Disimpan dirak. Aku sering mengelapinya kalau kebetulan berdebu.
Sekarang gelas ayah masih ada. Disimpan dirak. Aku sering mengelapinya kalau kebetulan berdebu.
Kan ga ada yg pakai gelas itu selain ayah.
PETRICHOR
menguap diantara tanah yang dihujam butiran tentara air dari langit. Dulu, kata
Ibu, hujan adalah tangisan dewi-dewi dan guntur adalah bentuk murka sang dewa. Ibu
bilang sambil mengusap kepalaku sebelum terlelap tidur, jadilah anak baik agar
dewi-dewi disinggasanya tak perlu bercucuran airmata serta sang dewa tak perlu
murka.
Namun kini,
aku ingin selalu dewi-dewi itu menangis untukku. Sebab, mereka harus merasakan
nelangsa yang aku terima. Sebab dengan airmatanya, dapat mengobati sejumput
rindu yang bergolak dalam ruang hatiku. Sebab pada air hujan dan deras yang
mengalun ada kenangan yang dapat kunikmati sendiri. Ada sebeuah dimensi yang
ingin kukunjungi sekali waktu.
Duduk pada
dua bangku. Kami hanya dipisahkan sebuah meja kecil yang menampung segelas teh
manis atau terkadang kudapan lainnya. Ayah kerap bercerita tentang masa
mudanya. Tentang betapa ia tersihir oleh kecantikan ibuku. Katanya, ibuku
adalah wanita paling cantik didesanya yang diperbutkan banyak pemuda saat itu.
Beruntung,
ayah akhirnya dapat menaklukan hati ibuku. Katanya, sewaktu awal menikah mereka
amat susah. Namun karena keinginan untuk hidup dengan ayahku, ibuku mau
mengarunginya semua susah senang bersama. Terlebih sejak hadirnya aku dan
adikku. Ayah tambah semangat berkerja untuk mensejahterakan kami semua.
Ayah juga
kerap bercerita tentang keteladanan Nabi-nabi dan juga Sahabat Rosul. Ia
membuatku mencintai agamaku dengan meneladani apa yang mereka lakukan. Ia
mnegajarkan kasih sayang dalam beragama. Ia bukan ustadz atau kyai. Ia hanya
seorang laki-laki dewasa yang kerap pergi ke pengajian pada malam hari dan selalu
menceritakan ulang apa yang didengarnya dari sang penceramah kepada anaknya.
Tentu dengan bahasa dan materi yang cocok untuk anak kecil. Entah ia dapat
kemampuan itu darimana.
Aku selalu
menanti cerita-cerita darinya. Bagiku ayah adalah sumber keteladanan dalam
hidupku. Ia yang mengajarkan kasih sayang dan kedisplinan lewat jalinan cerita
pengalamannya. Ia kerap mewanti-wanti agar aku tak salah jalan seperti yang
pernah dilakukannya. Ia sennatiasa memotivasi dengan cara yang amat sederana. Aku selalu mencintai sore hari dengan Ayah.
Ku pandangi
gelas besar milik ayah, kuusap perlahan. Ayah pernah cerita bahwa ia mendapat
gelas ini dari seorang temannya yang merantau ke Kalimantan. Ia yang kupanggil
Om Gendut karena perutnya yang besar. Ia kerap datang untuk menemani ayah
berbincang sampai jauh malam. Sebelum pergi ke Kalimantan. Pada Malam hari
sebelum berangkat, om Gendut datang dan memberikan gelas besar ini.
Kenang-kenangan katanya.
Sejak saat
itu, Om Gendut tak pernah ada kabarnya. Sebagian bercerita bahwa ia sudah
bekerja ke Malaysia, sebagian cuma bilang kalau om Gendut mungkin sudah tewas
sebab anak dan istrinya pun tak tau keberadaan imam mereka. Ayah selalu bilang,
bahwa Om Gendut masih hidup.ia hanya lupa jalan pulang atau masih terlalu sibuk
dengan pekerjanya. Untuk itu ia akan tetap menunggunya. Sampai saat ini. Sebatas waktu ayah sanggup menunggunya.
“Ayah, hari ini hujan deras. Aku jadi ingat dulu
selalu meminta hujan berhenti sejenak agar ayah bisa pulang. Aku kan tau ayah
pasti nakal lagi ga bawa payung seperti yg ibu suruh. Aku pasti menunggu ayah
diteras depan sambil membawa handuk hijau kesayangan ayah. “
Ayahku
bekerja sebagai seorang montir disebuah bengkel milik Koh Ahen dekat kantor kecamatan.
Ayah biasanya pergi dengan sepeda tuanya yang katanya sudah diwariskan
turun-temurun. Dari kakek, ayah, sampai pada dirinya dan mungkin suatu saat,
jika aku sudah cukup tinggi dan cukup tenaga, sepeda itu akan berganti
kepemilikan kepadaku.
Aku kerap
menunggunya pulang sore hari, ayah bekerja hanya sampai jam 4 Sore. Lalu pulang
ke rumah. Perjalanannya dengan sepeda menghabiskan waktu setengah jam. Bagiku,
ayah adalah sosok yang selalu membawa tenang dimanapun ia berada.
Ia akan
menggendongku dan mengagkatnya tinggi-tinggi sebelum membawaku masuk ke dalam
rumah. Aku imgat baunya. Ia jarang menggunakan minyak wangi tapi tak pernah
kurasakan terganggu oleh aroma tubunya. Justru bagiku, ayah adalah pria paling wangi
yang pernah aku temui, ayahku selalu hebat dimataku.
Hujan
membuat genangan didepan rumah. Air kecoklatan tampak berrumpun disana. Aku
memegang handuk hijau yang jika di bentangkan maka aku bisa tenggalam
didalamnya. Aku menunggunya sambil duduk didepan rumah. Menunggu sampai sosok
itu hadir dari ujung jalan sana dengan sepeda hitam kesayangannya.
Dari jauh
sudah dapat kulihat dan kurasakan senyum ayah. Ia memandangku dan aku
memandangnya. Kami selalu punya cara saling menyayangi bahkan hanya depan
tatapan mata. Bukankah kasih seorang ayah jarang berupa kata ? mereka lebih
sering mengungkapkannya dengan teladan dan disiplin sejak kecil agar kita tak
tersesat dan tak tentu arah.
Ayah selalu
bandel tak pernah mendengarkan nashat ibu untuk membawa payung. Bagi ayah, hujan adalah rahmat.dan ia takkan menutupi
dirinya ditimpahi rahmat dari langit. Meski begitu ayah jarang sakit meski ia
bergelung dibawah hujan selama perjalanan pulang setengah jam. Kata ayah, hujan
tidaklah jahat. Fisik kitalah yang seharusnya mampu bertahan dari segala macam
penyakit yang datang. Hujan tak pernah membawa penyakit tandasnya.
Tapi, kini tak ada yang aku tunggu, meski begitu yah.
Aku masih duduk diteras sambil membawa handuk hijau ayah. Mungkin ayah bertanya
untuk apa. Aku juga ga tau yah, aku hanya belum bisa menghentikan kebiasaan
itu.
Pada sebuah
sore yang temaram. Di penghujung Desember yang basah. Aku menunggu ayah pulang
seperti biasa. Aku bersiap dengan handuk di tangan. Menantap jalan yang
menjauh. Hujan tak kunjung reda sejak matahari di atas kepala. Ibu sedang
menyiapkan pisang goreng untuk kudapan sore ayah. Aku yang membeli pisang
goreng itu tadi pagi dipasar. Bahkan aku yang memilih pisangnya. Aku juga yang
sibuk mengupas pisang untuk ibu goreng. Adikku sedang bermain di kamar. Ia
sedang sibuk dengan bonekanya.
Sudah 15
menit lewat dari jadwal ayah biasa pulang. Lelah berdiri aku putuskan untuk
duduk dibangku yang biasa kupakai bercengkarama dengan ayah. Beberapa kali ku
tanyai ibu dimana ayah. Ibu bilang mungkin ayah lembur. Aku tak lantas percaya
karena ini hari Sabtu. Tidak mungkin ayah lembur. Bukankah ayah berjanji ayah
menceritakan soal Syahidnya Imam Ali Bin Abi Thalib seperti janjinya tadi pagi.
Wajah cemas
ibu tak dapat disembunyikan, meski masih kecil kala itu. Aku dapat membaca
wajah khawatirnya. Ibu kini duduk bersamaku diberanda. Adikku tengah terlelap
di kamarnya. Hujan masih belum jua menghentikan invasinya. Namun kini hanya
bersisa rinai yang kecil dan damai.
10 menit
sebelum Adzan Magrib berkumdang. Di ujung jalan terlihat seseorang berlari
tergopoh-gopoh. Ia tampak kewalahan dengan dirinya sendiri. Kupikir itu ayah.
Aku dan ibu berdiri siap menyambutnya. Namun kecewa yang malah kuterima.
Ia bukan
ayah. Ia Wa Asan, Muadzin mushola yang berada tak jauh dari rumah. Wajahnya
basah dengan baju yang kuyup. Sehari-hari ia tukang ojek di pangkalan di ujung
jalan. Wajahnya tampak pucat. Ia megap-megap meraih udara. Kulihat wajah ibu
panik. Aku memperhatikan Wa Asan. Dan Wa Asan pun memandangku iba.
“Sarman
kecelakaan, ndah” ucapnya terbata “tadi dia ketabrak mobil waktu nyerbrang
jalan. Sekarang dia lagi dibawa ke Rumah Sakit Daerah, kondisinya kritis”
lanjutnya.
Ibuku tampak
histeris, ia berkali mengucap nama Tuhan. Lututnya mungkin lemas sebab ia
terjatuh tepat disampingku. Ia memelukku. Aku tak tahu apa yang terjadi saat
itu. Segala macam pikiran seketika muncul pada otakku yang masih berumur 7
tahun. Aku sungguh tak benar-benar paham apa yang tengah terjadi.
Tak
berselang lama aku sudah sampai di Rumah Sakit. Dengan menumpang mobil pa RT.
Aku, ibu, Wa Asan, dan Bi Esih adik ayahku datang ke rumah sakit. Adikku
dititipkan di Rumah Wa Tarsam tentanggaku. Kami tergopoh-gopoh menuju UGD. Aku
digandeng ibu berlari kecil kesebuah ruangan di ujung Rumah sakit. Wajah ibu
sudah pucat dengan dengan air mata yang luluh di wajahnya.
Kami sudah
sampai disebuah ruangan yang berada di ujung barat rumah sakit. Disana sudah
kulihat beberapa teman ayah. Aku tahu karena beberapa dari mereka juga pernah
ke rumah sewaktu ada syukuran khitanku beberapa bulan lalu. Mereka menunduk
dalam. Salah satu dari mereka mendekati kami. Dan mengajak kami duduk di pojok
ruangan dekat pintu.
Ia
memperkenalkan diri sebagai Bapak Adnan, supervisor di bengkel tempat dimana
ayahku berkerja. Orangnya tinggi, hitam namun wajahnya tampak ramah. Ia
mejelaskan kronologi kecelakaan yang dialami ayahku.
Dia bilang
ayahku kecelakaan tak jauh dari bengkel tempatnya berkerja. Ketika sedang
menyebrang, hujan yang mengguyur membuat penglihatan terganggu. Ia tak tahu
ketika ia tengah melintas tepat dari arah jalan sebuah mobil datang dan
menghantam tubuhnya sampai terplanting beberapa menter ke trotoar. Darah mengucur
bercampur dengan air hujan yang menggenang. Beberapa orang yang berada tak jauh
dari sana lantas membawanya ke rumah sakit ini.
Tangan ibuku
yang menggenggam tanganku tampak gemetaran. Diwajahnya terulukis kekalutan yang
tak pernah kulihat sebelumnya. Meski kami hidup amat sederhana. Tapi ibu selalu
tampak cantik dan ceria. Baru kali ini kulihat wajah ibu menatap kosong.
Bibirnya yang memutih dan matanya yang sembab karena terlalu banyak menangis
sepanjang perjalanan kesini.
Setengah jam
kemudian. Tepat beberapa menit selepas adzan Isya berkumandang. Kami
diperbolehkan masuk. Hanya aku dan ibu di ruang ini. Tampak ayahku tergolek
lemah dengan perban dikepala, tangan dan dadanya. Kakinya tampak disangga.
Ayahku yang tampan dan selalu tersenyum meski tak jua menyembunyikan garis
keras diwajahnya. Hasil dari tempaan beban hidupnya sedari muda. Kini ia
terpejam dengan bantuan alat pernapasan yang menempel di mulut dan hidungnya.
Sepi, hanya
bunyi alat yang entah namanya berdetak serupa jam dinding. Ibuku tetap
bercucuran airmata sambil menggegam tangan suaminya. Berkali ia panggil nama
laki-laki yang dicintainya sepenuh raga dan jiwanya. Kuraih tangan dingin
ayahku. Mengepal dan mendekatkannya ke pipiku. Mencoba merasakan kembali hangat
tangannya yang kerap membuatku rindu meski hanya ditinggal bekerja beberapa
waktu.
Aku terus
berdoa seperi yang diajarkan ayah sewaktu kami menjenguk Wa Asim tetangga kami
yang sakit beberapa waktu lalu. Aku terus memanggilnya. Memastikan ia hanya
terlelap tidur karena kecapaian setelah seharian bekerja.
Seperti menaiki
sebuah roller cooster. Pada satu titik paling membahagiakan hidupku. Masa
kanak-kanakku yang sempurna terhempas begitu saja menuju titik paling terjal
dalam nafasku. Semua tak kuingat jelas. Tetiba sebuah mesin berbunyi nyaring
dan ditingkahi raungan ibuku yang memanggil dokter. Seketika ruangan terasa
penuh sesak. Seorang perempuan muda berbaju putih memelukku dan menarikku
keluar ruangan. Aku mengejang. Aku berontak. Aku masih ingin bertemu ayahku,
aku masih ingin menjaganya dalam tidur lelapnya. Aku mulai menangis, meski aku
tidak tahu apa yang aku tangisi.
Perempuan
itu menyerahkanku pada Bi Esih. Aku yang masih kalap dan berontak dibawa bi
Esih ke Mushola yang berada tak jauh dari tempat ayah tertidur. Dari sini
nampak kulihat beberapa orang berbaju putih masuk, tak berselang lama.
Seseorang yang kupikir perwakilan dokter mengumumkan sesuatu. Air mukanya
tampak lesu. Ia berbicara sebentar dengan Pa Adnan. Semua merunduk ketika
mendengar penjelsan dokter berbaju putih. Suara tangisan terdengar pecah
darisana. Aku memeluk Bi Esih erat. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi.
Ayah, ibu masih suka nangis diam-diam tuh. Kalau
shalat pasti ibu sesunggukan. Mungkin ibu ingat ayah. Seperti aku juga :(
Suara Yassin mengalun memenuhi ruang
tamu. Ditengah sana. Tepat dibawah lampu tempat kami biasa menghabiskan waktu
menonton tv, terbujur jenasah Ayahku. Dibawah selimut dan kain itu ayahku
tertidur lelap. Matanya mengatup. Ia telah terbungkus kafan yang akan
menamaninya sampai ke liang lahat.
Aku hanya anak kecil. Aku tahu tapi
aku tak mau percaya bahwa ayahku sudah tidak ada. Aku masih percaya bahwa
ayahku hanya tertidur karena kecapaian setelah berkerja. Sebentar lagi. Mungkin
1 atau 2 jam lagi ia akan bangun dan menggendongku. Membawaku ke beranda dan
mulai menceritakan kepadaku kisah heroik Ali Bin Abi Thalib.
Ibuku tampak lemah disamping jenasah
ayahku. Matanya sembab. Sudah tak ada air mata disana. Mungkin sudah
dihabiskannya semalaman. Pagi ini, ayahku akan dikuburkan di TPU yang berada
tak jauh dari tempat kami tinggal. Disamping Ayahnya ayahku atau makam kakekku,
Wa Asan menuntunku membaca surat
Yassin. Katanya agar ayahku senang dan tidurnya nyaman. Seperti dongeng yang
dibacakan ibuku sebelum aku terlelap dimalam hari. Wa Asan bilang kalau ayahku akan
tidur lama sekali. Dan sedang bermain di Surga saat ini.
“Ayah, disana indah kan ? Ayah disana ga kehujanan kan
? Ayah, aku kangeen deh.
Ayah, disana ayah kerja ga ? Disana siapa yg pijitin ayah ? Ayah sehat kan disana ?
Ayah, hujan turun semakin deras. Disana ayah ga kehujanan kan ?
Ayah, aku kangeen sama ayah, eh udah 2 kali yah aku bilang ? Hehe,
ayah nanti-nanti aku cerita lagi deh. Ibu udah manggil tuh.
Ayah, disana ayah kerja ga ? Disana siapa yg pijitin ayah ? Ayah sehat kan disana ?
Ayah, hujan turun semakin deras. Disana ayah ga kehujanan kan ?
Ayah, aku kangeen sama ayah, eh udah 2 kali yah aku bilang ? Hehe,
ayah nanti-nanti aku cerita lagi deh. Ibu udah manggil tuh.
Oh iya, sekarang dirumah lagi rame, kata ibu bakal ada
acara doain ayah, tujuh harian katanya. Wah, banyak makan lho yah, kita ga usah
perebutan lagi. Kita bisa makan sampe kenyang.
Tapi kan ayah ga ada, hehe,
udah ya yah, ibu udah makin cerewet tuh.
udah ya yah, ibu udah makin cerewet tuh.
Dadah ayah, nanti aku cerita lagi yah”.
Kupandangi
secarik kertas yang sudah kusimpan di dompetku bertahun-tahun. Sebuah curhatan
seminggu setelah ayahku pergi. Masih ku ingat dulu, ketika menulisnya. Aku tak
kuasa menahan air mataku. Tetesan air mata itu membuat beberapa bagian yang aku
tulis sulit terbaca.
Dan kini,
setelah bertahun-tahun lamanya gemuruh dan sesak masih aku rasakan tatkala aku
membacanya kembali. Selepas ayah pergi kami sekelurga harus mati-matian
menghidupi diri kami sendiri. Uang duka dari tempat ayah berkerja sudah habis
sebelum 3 bulan sejak kematian ayah.
Sejak saat
itu aku mengerti tugas laki-laki. Aku membantu ibuku berkerja sepulang sekolah.
Diam-diam aku sering sesunggukan membayangkan betapa bahagianya jika masih ada
ayah. Jika kami lengkap. Sungguh masa-masa itu ingin kuulangi. Biarlah bergitu,
tak perlu lebih tak boleh kurang. Aku sangat bahagia.
“Ayah ga
akan hidup lama, Do” Ucap ayahku sambil memandang kedepan. Matanya menatap
jauh. Begitu teduh mata itu,serupa telaga yang memberi kehidupan bagi
makhluk-makhluk disekitarnya. “ Ayah, harap kamu bisa jadi laki-laki yang baik
yang mampu menjaga ibu dan adikmu Rahmi” Lanjutnya.
“Ayah
percaya kamu bisa, kamu kan anak laki-laki ayah” Ia tersenyum padaku seraya
memelukku erat. Kucium aroma wangi dari tubuhnya. Ia berbusana putih. Air
mukanya tampak teduh dan menyenangkan. Aku berteriak ketika dia melepaskan
peluknya dan pergi menjauh. Kukerjar ia, namun langkahku tak kemana-mana. Ayahku
tetap tersenyum dan semakin menjauh, menjauh sampai hilang di telan cahaya di
ujung sana. Aku berontak dan sekuat-kuatnya berteriak memanggilnya. Dan yang
kudapati tubuhku berpeluh di sebuah malam yang dingin. Aku bermimpi tentang
ayah seminggu setelah kematiannya.
Air mataku
menggenang. Tak kusadari aku mulai terisak. Mimpi yang sangat aku rindukan. Aku
ingin bertemu dengannya lagi. Sudah bertahun-tahun tak kudapati memimpikannya
seberusaha apapun yang aku lakukan. Sewaktu kecil aku masih kerap di datangi
ayah lewat mimpi. Namun semakin dewasa dan semkin sibuk diriku, tak pernah lagi
ia hadir untukku.
“Ayah nangis
ya” Ucap Vere mengagetkanku. Anak laki-lakiku yang pertama. Wajahnya mirip
ibunya. Matanya mengerjap memandangku. Buru-buru kuseka air mata yang menggenang
di mataku. Aku tengah duduk diberanda rumahku. Tak banyak yang berubah sejak aku
tinggalkan rumah ini untuk merantau nyaris 10 tahun lalu selepas SMA.
“Engga, Abi
cuma ngantuk, kok” jawabku seraya berpura-pura menguap lebar. Kupeluk anakku.
Ia mengingatkan aku pada diriku berahun-tahun lalu.
Har ini kami
berkumpul. Besok adikku Rahmi akan melepas masa lajangnya. Ia akan menikah
dengan seorang Dokter yang dikenalnya di tempat kerjanya. Tak terasa tugasku
sebagai kakak dan tulang punggung keluarga ini akan selesai. Rasanya baru
kemarin aku mengantarkan adikku untuk bersekola untuk pertama kalinya.
Dan hari ini
aku akan menjadi wali dalam pernikahannya esok hari, Rasa takjub dan syukur tak
putus aku panjatkan pada Tuhan yang senantiasa menolongku. Tak lupa kuingat
ayahku. Ia juga pasti membantu merayu Tuhan agar Dia senantiasa memberikan
belas kasihnya untuk kami sekeluarga.
Kupandangi
gelas besar ayahku. Aku kangen sekali kepadanya. Bagaimana kabarnya ia di surga
? apakah ia tahu bahwa hari ini anak perempuannya akan menikah dan berkeluarga.
Rasanya akan lebih menyenangkan jika ia disni bertugas sebagai wali nikahnya.
Dan aku cukup menjadi saksi upacara pengikatan sakral mereka. Seandainya, yah.
***
“Bapak
sangat bangga sama kamu, Do” Laki-laki berwajah teduh berbaju serba putih
mengelus kepalaku.” Kamu sudah berhasil menjadi pengganti ayah yang baik,
terima kasih kamu sudah melakukan tugas ayah. Maafkan ayah sudah banyak
merepotkanmu” lanjutnya.
Aku
memeluknya erat derai tangis tak kuasa ku tahan. Seketika kurasa tubuhku lambat
laun mengecil. Kulepaskan pelukannku. Kini aku kembali menjadi anak kecil
dihadapannya. Ia menggendongku dan membawaku menuju suatu cahaya di ujung sana.
Pada cahaya
itu terdapat pintu berwana keemasan dengan aksen yang sangat indah. Aku tak
pernah melihat ukiran sebagus itu. Ia menurunkanku dari gendongannya. Aku
menggenggam erat tangannya. Tak ingin rasanya aku melepas semua ini, ayah.
“Sampai sini
saja ya, Do” Katanya seraya melepas tangannya dari genggamanku. “Bapak mau
istirahat dulu. Kamu sekarang gantian jadi bapak untuk anak-anakmu, Bapak
bangga sama kamu” Ujarnya sambil perlahan meninggalkanku.
Aku
terbangun saat adzan Subuh berkumandang. Senyum tak juga usai tanggal dari
wajahku. Istriku masih tampak tertidur pulas. Pun Vere anakku. Masih terkulai
dalam pelukan istriku. Terima kasih ayah atas hadiahnya. Besok aku kan
menggantikanmu menjadi wali untuk Rahmi.
Aku berjalan
menuju kamar mandi untuk wudhu. Sempat kubangunkan istriku untuk shalat
berjamaah. Selagi menunggu istriku berwudhu kubayangkan lagi mimpi indah yang
dihadirkan barusan. Ya Allah, “Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”.
Pic Sc : http://www.garyshart.com/wp-content/uploads/2012/06/Father-Son-Silhouette1-300x198.jpg
terus berkarya dengan info info nya
BalasHapusterimakasih gan