BERKALI kulirik jam yang tertera
dilayar handphoneku. Satu jam lagi aku akan sampai pada tempat tujuanku.
Kulangkahkan kaki keluar dari Commuter line tujuan Jakarta Kota. Stasiun
Manggarai tampak sudah ramai. Satu hari di Minggu pertama pada Desember yang
basah. Langit tampak cemerlang. Hari hampir menuju siang.
Kali ini aku harus berganti
kereta menuju Bekasi. Peron no 4 terlihat dijejali sejumlah penumpang.
Kuperhatikan wajah-wajah disekitarku. Sebagian tampak sumringah. Mungkin mereka
ingin mengujungi sanak keluarga mereka di seputaran Bekasi atau Jakarta
Selatan. Rasanya memang menyenangkan ketika hati bisa kembali pulang.
Sebuah pengumuman dari pengeras
suara menisyaratkan bahwa kereta tujuan Bekasi akan segera tiba. perhatikan
layar handphoneku, Belum ada pesan masuk. Dia
belum membalas
Tak berselang lama kereta yang kutuggu
datang. Sekilas kulihat sudah cukup penuh. Aku berlari kecil menuju gerbong
nomor 3. Gerbong favoritku. Pintu kedua dari arah datangnya kereta. Sudah tak
ada bangku kosong saat aku masuk. Udara dingin menyapa tatkala kipas angin yang
berputar dilangit-langit kereta menghembus padaku. Aku berdir dekat pintu.
Kusumpal telingaku. Kuputar semua lagu yang hampir tiga tahun ini kujauhi.
Tak
bisa aku melupakanmu
Walau
kau bukan milikku lagi
Tak
biasa aku hidup tanpamu
Terbiasa
kau perhatikan aku
Aku
dan kamu, itu dia doaku
Aku
dan kamu, itulah mimpi besarku
Perlahan kukudap dalam lirik dan
nada yang mengalun. Sekelebat bayangan tiga tahun lalu menghadang. Kupandangi
tanah dan rerumput juga rumah-rumah yang seakan berlari ke belakang. Seketika
kaca pintu kereta yang semula bening menembus keluar berubah mengembun. Cepat
kuseka air mata yang keluar. Melumat perih sebuah kenangan. Semua terasa manis
sekaligus menyakitkan.
Handphone bergetar. Satu pesan
masuk. Dari sebuah nama yang sudah 3 tahun ku hindari. Ku pikir setelah 3 tahun
lost contact nomorku takkan lagi
disimpanya. Kupikir balasannnya akan sesederhana “ ini siapa” atau “ maaf ada
perlu apa ?” nyatanya tidak. Dia masih sama, membalas deretan aksara yang
kukirim pagi tadi dengan serupa yang sering kudapati ketike membuat janji 3
tahun lalu.
“y .. tunggu, saya kesana”
Kumasukan kembali handphone ke
saku celana. Tak perlu aku membalasnya. Semua sudah jelas. Jam berapa, dimana,ada
apa, bahkan kusebutkan juga durasi yang aku perlukan. Hanya 2 jam. Hanya 2 jam
waktu yang ijinkan unuk diriku melukai dirinya sendiri sekali lagi. Demi sebuah
ketuntasan. Demi sebuah penyelesaian. Demi sebuah rindu.
Setengah jam berlalu. Dan kini
aku sudah sampai di Staisun Bekasi. Semua penumpang turun dengan tergesa
disususl oleh sejumlah penumpang yang berebut masuk. Masih satu jam lagi dari
janji yang aku buat. Semua terasa berat. Untuk itu aku memilih satu jam lebih
cepat dari waktu yang sebenarnya. Rasanya aku ingin melahap ini perlahan.
Keping-keping bahagia yang juga merupa sebuah kesakitan.
Lagu-lagu kenanganku masih
mengalun. Memutar dan mengembalikan semua ingatan pada pertengahan 3 tahun
lalu.
Stasiun kian jam kian ramai
dengan penumpang. Seorang petugas kemanan stasiun tampak kualahan mengatur
sejumlah rombongan ibu-ibu yang hendak naik kereta. Sepasang muda mudi tengah
asik bergantengan. Si perempuan tampak dibuat kesal. Ia mencubit manja pasangannya
yang disambut gelak tawa keduanya. Aku
juga pernah merasakannya.
Tak terasa 30 menit sudah
kuhabiskan. Masih tak ada pesan darinya. Dan akupun enggan memastikan apa-apa.
Aku enggan berkomunikasi lebih jauh dari yang diperbolehkan oleh diriku sendiri.
Setelah get out dan keluar stasiun segera kupanggil ojek. Aku langsung
menyetujui harga yang ditawarkan si tukang ojek. Lebih mahal dari biasanya.
Tapi sudahlah. Aku enggan berbicara dengan siap-siapa. Tidak tahukah hati ini
nyaris loncat karena segumpal rindu selama 3 tahun akan dituangkan hari ini
juga.
15 menit aku sampai pada sebuah
pusat perbelanjaan yang belum lama diirikan ini. Sebuah mall besar yang juga
memliki cabang di Serpong. Aku berhenti agak jauh dari pintu masuk. Sengaja,
Rasanya aku ingin berjalan-jalan sebentar. Rasanya rasa gugup ini melebihi
gugup yang kualami ketika akan presentasi dikantor tempatku berkerja.
Hawa dingin langsung menyapa saat
pintu mall terbuka dengan sendirinya. Ada rasa nyaman yang dihadirkan. Langsung
kualihkan langkah ini menuju tempat janjian kami. Sebuah resto dalam sebuah
semcam food court di mall besar ini.
Jam janjian kami tinggal 15 menit
lagi. Aku duduk dan memesan sebuah Green tea late. Kuedarkan pandaganku, tempat
ini terbilang nyaman. Setiap resto berderet berjajar rapi dari ujung ke ujung.
Bangku-bangku kayu menghampar didepanya. Di beberapa lokasi terlihat ada kolam ikan
dengan makhluk cantik berwarna orange yang gemuali meliuk didalamnya. Ditengah
terdapat bangku dari rajutan rotan dan sebuah meja dengan bahan serupa yang
ditudungi payung besar berwarna merah guna menghalangi sinar matahari.
Siang sudah lewat diatas kepala.
Beberapa muda mudi sudah terlihat menempati beberapa lokasi. Beberapa terlihat
asik ngobrol, ada juga yang sedang diskusi dengan laptop yang terbuka didepanya.
Aku mengela napas pesananku sudah
datang.
“ada lagi, mba ?” si pelayan
menayaiku.
Aku menggeleng sambil brkata
“tidak” dia lantas beranjak pergi. Ku kembali pandangi seliweran orang
ddisekitarku. Langit mendadak mendung. Angin berembus kencang menggoyang
payung-payung dan tenda yang berjajar rapi.
Handphoneku bergetar. Ada pesan
darinya
“maaf saya telat, Bekasi macet
banget” tulisnya dalamm pesan singkat itu.
“iya ga papa, saya sudah sampai”
balasku cepat. Kembali kuletakan handphoneku. Sekilas kulihat jam pada layarnya
sudah lewat 15 menit dari waktu yang kami janjikan. Tak apalah toh hari ini aku juga tidak ada janji
dengan siapa-siapa. Selain denganya.
Gemulung awan kian menebal. Angin
berhembus perlahan. Sepertinya sebentar lagi hujan. 30 menit berlalu dan dia
kembali mengirimkan pesan singkat.
“aku sudah sampai, kamu masih
distu kan?” tanya
“iya, mau kupesankan minum ?”
balasku.
Tak berselang lama ia menjawab “
boleh, seperti biasa, ya ?”
Aku tersenyum kecil. Seperti biasa. Apa dia tak merubah
kebiasannya sejak 3 tahun yang lalu. Kulirik seorang pelayan yang kebetulan
berada tak jauh dari tempatku duduk. Ia berjalan kearahkaku. Tanpa melihat menu
aku minta segelas teh panas dengan gula hanya sedikit. Kuberi analogi. Jika
tehnya satu gelas ukuran sedang. Maka gulanya hanya seujung sendok. Tak boleh
banyak. Ia tak suka manis. Meski ku pikir gula seujung sendok tak akan menberi
pengaruh apa-apa.
Sang pelayan mengganguk pelan. Ia
beranjak menuju ke dalam. Kembali kuamati deretan aksara pada layar handphoneku
“ seperti biasa ,ya ?” dia pasti tahu
aku tahu kebiasannya. Lebih dari siapaun. Lebih
dari siapapun.
***
“sudah lama ya ? maaf buat kamu
menunggu” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Di hadapanku kini sudah berdri
seorang laki-laki dari masa laluku ia
tampak menawan dengan T-Shirt hijau dengan celana pendek dibawah lutut.
Rambutnya di sisir rapi, tapi tidak berlebihan seperti ketika datang ke
hajatan. Bulu-bulu halus menghiasi jalur dagu sampai ke telinganya. Ia tak
berubah. Keadaan yang berubah.
“iya, ga apa-apa” cepat kucoba
menguasai diri. Kupersilahkan ia duduk. Mesti sebenarnya pantatnya sudah nayris
menyentuh permukaan bangku ketika aku mengucapkan basa basi itu. Tak lama
seorang pelayan datang dengan nampan berisi minuman. Cekatan, sang pelayanan
menaruh minuman itu tepat dimeja didepannya.
“makasih” ucapku berbarengan
dengan laki-laki didepanku. Pelayan itu hanya mengangguk seraya tersenyum.
Mungkin ini lucu baginya. Kami sama-sama canggung sebelum akhirnya tertawa
bersama.
“kita kompak ya. Masih sama kaya dulu”
mataku lekat padanya. Iya dulu bahkan
kami selalu berlomba-lomba mengucapkan terima kasih lebih dulu ketika membeli
sesuatu atau ketika bertemu orang yang menolong kami. Sebuah kebiasaan yang
entah muncul sejak kapan. Tapi seperti hari ini. Kami pun selalu mengucapkan
nyaris bersamaan. Sehingga selalu di akhiri pertengakaran kecil meributkan
siapa yang lebih dulu mengucapkannya.
Ia cepat menyeruput teh panas
didepannya. Diletakanya kembali teh tadi.
“kamu masih ingat betul, ya ?
minuman kesukaan saya” tanya. Ia tersenyum. Senyum
itu.
Aku mengulum senyum. Tak bersuara
dan memang tak ingin terlihat terpuji.
“Kamu kesini sendiri ?” tanyaku
sambil megaduk Green Late yang sudah setenaghnya ku habiskan dengan sedotan.
“Sama Arindi, Sama Rivan juga,
tapi mereka sekarang lagi nonton. Maaf ya, ga bisa nemuin. Rivan katanya pengen
nonton dinasourus terus”jawabnya” tadi telat juga soalnya harus nganter mereka
ke atas buat nonton” lanjutnya.
“kamu ga ikutan nonton ?” ujarku.
Seperti ada batu es yang menggelosor dalam dadaku mendengar kata “Arindi” dan
“Rivan”
“Lah, aku kan mau nemuin kamu.
Tadi juga udah bilang kok dan ngajakin Arin, tapi katanya dia ga mau ganggu.
Haha. Mungkin Rivan kali yang bakal ganggu kita” ujarnya sambil tergelak. Ada
pancaran bahagia yang tak pernah kusentuh lagi sejak 3 tahun lalu.
“ Rivan udah bisa apa aja ?
umurnya sekarang 2 tahun kan ?” tanyaku” pasti sedang lucu-lucunya ya” lanjutku.
Ku teguk green late yang entah kenapa menjadi lebih pahit.
“Sedeng bandel-bandelnya iya. Apa
aja maunya dilempar. Untung aku punya istri yang tabah kaya Arin” Ia
memandangku, kualihkan mataku ke arah gerombolan anak muda yang tengah bercanda
di ujung sana”alhamdulillah, Rivan udah bisa jalan dan bicara, meski belum
lancar-lancar banget, Arin nanyain kamu terus tuh, Rivan juga pasti mau ketemu
tantenya” lanjutnya.
Ia tampak bahagia, bahagia
Dulu aku juga sempat mengecap
kebahagiaan yang sama. Kebahagiaan yang tubuh tanpa aku sadari. 3 tahun
mengenalnya. Aku tahu segalanya tentang dia. Pun dia juga demikian. Kami satu
kantor dulu. Hanya beda divisi. Kami kerap jalan bersama. Dialah orang pertama
yang menyapaku sewaku aku berkerja pada hari pertama. Dia yang mengenalkan aku
dengan pemilik kontrakan yang aku tinggali selama 3 tahun.
Kontarakan kami hanya terpisah
selapis tembok. Aku kerap bertandang ke kontrakannya. Dia juga sering bertamu
ke kontarakanku. Bahkan, bisa dibilang waktunya di kontrakanku jauh lebih lama
ketimbang dia berada di kontrakannya sendiri.
Semua berjalan bergitu
menyenangkan kala itu. Dia yang perantauan dan akupun perantauan membuat kami
merasa memliki kesamaan nasib yang membuat kami semakin dekat. Semua ia yang
pertama negetuk pintu kontarakanku kala pagi datang. Dan dia pun yang terakhir
menutupnya ketika malam melumat alam.
“Aku shock waktu kamu mendadak
pergi, selama seminggu setelah lebaran, aku pikir kamu ga akan pernah ballk
lagi kesini” ucapku tenang. Lebih tepatnya di tenang-tenagkan. Meski perasaaan
bergolak bagaikan lava di rahim merapi.
Ia menghentikan memainkan
gelasnya yang sudah kosong isinya. Ada jeda yang tercipta. Sepi memeluk kami.
“Aku juga shock waktu kamu
mendadak pergi. Resign mendadak. Bahkan kamu tidak pamit padaku” Ucapnya datar.
Jujur, aku kecewa ia mengemabalikan ucapanku. Harsunya ia yang menjadi terdakwa
sore ini ”dan kamu seperti menghilang. Berkali ku telepon, ku sms, tapi kamu ga
pernah menjawab”lanjutnya
“Aku pikir kamu tahu alasanku”
kini bendunganku bocor. Air perlahan luruh dari sudut mata.
“Ya, aku tahu” Jawabnya singkat.
Ia tampak memperbaiki posisinya.
Aku menunduk agar tangisku tak kentara dihadapanya.
Sebuah kehangatan menguasai
tangan kiriku yang tergelatak di meja. Kupicingkan mata dan kulihat tangannya
tengah menggengam tanganku. Tangan yang sama, perasaaan yang sama namun kondisi
yang sudah sangat berbeda.
“Aku minta maaf tak pernah
mengabarimu” ucapnya perlahan. Ada getar yang kurasa disana mungkin ia mencoba
menguasai dirinya sendiri. “ maafkan aku yang terlalu takut jujur padamu”
Terlalu sakit. Ya, ia terus
berbicara. Dan hanya sekilasku mendengarnya. Aku terlampau takut mendengar
semua cerita darinya. Dan aku terlalu takut ia akan melepas genggaman
tangannya. Dan kembali membuatku limbung seperti 3 tahun ini.
“Dia adalah wanita yang dipilih
ayahku sebelum beliau meninggal dunia. Aku sangat menyayangi ayahku, dan aku
tak mau mau mengecewakanya, ini adalah permintaan terakhir darinya” ucapnya.
Kini ia terisak pelan. Matanya mendung. Mata yang selalu aku suka karena
memancarkan keteduhan yang tak perlu kudapati lagi setelah tak lagi bersamanya.
Dan kini, mata teduh itu beriak
dan akulah penyebabnya. Sungguh aku adalah wanita yang bodoh. Mampu menempatkan
air mata pada mata seoarang yang aku cintai sepenuh raga.
“aku minta maaf Lisa” ucapnya
seraya merunduk dan menarik tangannya dari tanganku.
Semua sudah terjadi. 3 tahun lalu
kudapati kontrakannya tak berpenghuni. Seminggu setelah lebaran. Ia tak kunjung
datang. Aku menunggunya. Membiarkan pintu kamarku tak kututup sampai jauh malam.
Dan membukanya sebelum subuh berkumandang. Hanya untuk memastikan apa dia sudah
kembali ke tempatnya. Apa dia sudah pulang
Aku melakukannya seminggu penuh
sejak hari pertama dia tak ada. Ku tanya beberapa rekannya semua tak ada yang
tahu. Pernah ada desas desus bahwa ia pulang kampung dan mungkin tak akan
pernah kembali. Aku tak mau mengamininya sebab artinya aku memutus
pengharapanku.
Berkali kuKirimi sms dan telepon.
Bahkan ku stalking berhari-hari jejaring sosialnya. Namun ia tak ada nampak
kabarnya. Aku nyaris depresi. Terbayang rasa sakit jika ia benar-benar tak
kembali, lantas kenapa dia tak sekedar pamit terlebih dalulu.
Sampai suatu malam. Aku terbangun
sebab terdengar suara pintu terbuka dari kontarakan sebelah. Terdengar suara
laki-laki dan perempuan yang tengah berbincang. Tak berani, aku buka tirai yang
menutup jedela sedikit, mengintip dari celah kecil. Disana ada dia, ya, dia
laki-laki yang sudah membuatku gila hampir seminggu ini. Dan dia, bersama
seorang perempuan yang tak kukenali sama sekali.
Semalaman aku tak bisa tidur. Ku
coba menguping. Hanya sedikit yang mampu kudengar. Hanya suara laki-laki dan
perempuan. Mereka tertawa bersama dan aku tak bisa tidur semalaman karenanya.
***
“Dia perempuan yang baik, jadilah
suami yang sempurna untuknya”ucapku sambil memandangnya. Kini aku telah
sepenuhnya menguasai diriku. “ aku mencintaimu saat itu, aku hanya kecewa kau
tak pernah bercerita apapun tentang dia”
“Iya, aku sepenuhnya punya
perasaan yang sama, namun ya .. ini yang terjadi” mataku dan matanya bertemu.
Tiada lagi riak yang bergelantung dimatanya. Ia pun sepenuhnya sudah menguasai
dirinya kembali.
Aku memandangnya dalam. Pun dia
melakukan hal yang sama. Selama beberapa menit kami menyelami perasaan
masing-masing lewat sebuah cermin dalam mata kami. Tak ingin ada suara, tak
ingin ada kata. Hanya diam dan saling memahami lewat hati.
Mata yang dulu ku tatap dengan
cinta, hidung yang acap kali kumainkan karena bentuknya yang menurutku aneh.
Telinga yang sering ku jewer saat ku benar-benar gemas dengannya. Bahkan
janggut yang beberapa kali kumainkan. Ah, betapa indah itu sederhana Tuhan.
“Aku mau kasih ini” ucapku seraya
menyerahkan sebuah kertas berwarna hijau Tosca yang terbungkus plastik rapi.
Ada namanya disana. Tak lupa juga istri sebagai pendampingnya.
Ia menghela napas “akhirnya”
ucapnya. Ia meliriku cepat. Mencari kepastian bahwa aku sudah benar-benar yakin
dengan pilihanku.
“InsyaAllah” ucapku perlahan.
Kini semuanya teasa lebuh mudah. Kami masing-masing saling tahu dan saling paham
perasaan masing-masing. Namun rasanya sangat hina bila kami mengkhianati
pasangan kami yang sudah setia dengan hidup kami.
“rasanya menyenangkan sudah
bebas” kulurkan tanganku ”kita sekarang sahabat” lanjutku yang dibarengi
jabatan tangannya.
“Iya, senang bisa kembali
bersahabat denganmu” wajahnya nampak ceria. Ia selalu tampan dimataku. Tapi ia tampan sebagai sahabatku. “Boleh
aku menghubungi sekali waktu ?”
Aku menggangguk pelan mendengar
pertanyaannya. Sejujurnya hati ini sebelumnya mampu
“Tapi biarkan aku hidup tanpamu”
kuraih ponselku. Kubongkar bagian belakangnya. Kuambil Sim card didalamnya.
Sudah kusiapkan saat ini. Cepat kurogoh tas dan mengambil benda bergagang hijau
dan berujung runcing. Ku gunting sim card yang selama ini menghubungkan aku dengan
masa lalu.
Dengan masa bersamanya.
Ia tampak kaget, namun lekas ia
memahami maksudku. kIni simcard itu tergeletak di meja kami dengan kondisi
terbelah dua. Aku memandangnya dalam, “ maaf ” ucapku pelan.
Ia mengangguk pelan “ Tapi masih
boleh kan ku simpan nomormu meski ini sudah tak aktif lagi”
Cepat kudekati ia dan memeluknya.
Rasanya kangen ini sudah membuncah dan ini adalah penghabisannya. Biarlah
energi rindu menjalari kami. Hanya sebentar dan ini yang terakhir. Ia tampak
kaget kupeluk erat. Namun ketegangnnya mengendur dan ia malah mempererat
pelukan kami. Tak lagi kami hiraukan pandangan aneh orang-orang sekitar. Kami
hanya sahabatan. Hanya Sahabat.
Kulepaskan pelukannya. Ada air
mata yang menitik. Begitupun ia berkaca dalam cermin matanya.
“Sudah ya?” Kataku seraya
mengambil tasku “Aku pamit dulu, kau boleh datang ke pernikahanku, tak
datangpun tak apa. Ini sudah lebih dari cukup untukku” lanjutku.
Ia tersenyum saat aku beranjak
pergi. Sebuah pertemuan yang menjadi penghabisan rinduku. Setelah ini aku hanya
boleh rindu paada suamiku, biarlah ia ku kunci rapat dalam berangkas masa lalu.
Yang tak ingin kulihat atau kutengok lagi, biarkan ia dalam bentuknya saat ini.
Bukankah sebuah kejadian akan menyenagkan jika dia terekam dalam bentuk kenangan
? itu yang sepenuh hati aku lakukan.
Pic Sc : https://mikesimagination.files.wordpress.com/2011/06/rain.jpg?w=549
mantap sekali info yang sangat di share
BalasHapusterimakasih atas info nya