Selasa, 15 Desember 2015

Hujan Dan Sebuah Ketuntasan Rindu



BERKALI kulirik jam yang tertera dilayar handphoneku. Satu jam lagi aku akan sampai pada tempat tujuanku. Kulangkahkan kaki keluar dari Commuter line tujuan Jakarta Kota. Stasiun Manggarai tampak sudah ramai. Satu hari di Minggu pertama pada Desember yang basah. Langit tampak cemerlang. Hari hampir menuju siang.

Kali ini aku harus berganti kereta menuju Bekasi. Peron no 4 terlihat dijejali sejumlah penumpang. Kuperhatikan wajah-wajah disekitarku. Sebagian tampak sumringah. Mungkin mereka ingin mengujungi sanak keluarga mereka di seputaran Bekasi atau Jakarta Selatan. Rasanya memang menyenangkan ketika hati bisa kembali pulang.

Sebuah pengumuman dari pengeras suara menisyaratkan bahwa kereta tujuan Bekasi akan segera tiba. perhatikan layar handphoneku, Belum ada pesan masuk. Dia belum membalas

Tak berselang lama kereta yang kutuggu datang. Sekilas kulihat sudah cukup penuh. Aku berlari kecil menuju gerbong nomor 3. Gerbong favoritku. Pintu kedua dari arah datangnya kereta. Sudah tak ada bangku kosong saat aku masuk. Udara dingin menyapa tatkala kipas angin yang berputar dilangit-langit kereta menghembus padaku. Aku berdir dekat pintu. Kusumpal telingaku. Kuputar semua lagu yang hampir tiga tahun ini kujauhi.
 
Tak bisa aku melupakanmu
Walau kau bukan milikku lagi
Tak biasa aku hidup tanpamu
Terbiasa kau perhatikan aku
Aku dan kamu, itu dia doaku
Aku dan kamu, itulah mimpi besarku

Perlahan kukudap dalam lirik dan nada yang mengalun. Sekelebat bayangan tiga tahun lalu menghadang. Kupandangi tanah dan rerumput juga rumah-rumah yang seakan berlari ke belakang. Seketika kaca pintu kereta yang semula bening menembus keluar berubah mengembun. Cepat kuseka air mata yang keluar. Melumat perih sebuah kenangan. Semua terasa manis sekaligus menyakitkan.

Handphone bergetar. Satu pesan masuk. Dari sebuah nama yang sudah 3 tahun ku hindari. Ku pikir setelah 3 tahun lost contact nomorku takkan lagi disimpanya. Kupikir balasannnya akan sesederhana “ ini siapa” atau “ maaf ada perlu apa ?” nyatanya tidak. Dia masih sama, membalas deretan aksara yang kukirim pagi tadi dengan serupa yang sering kudapati ketike membuat janji 3 tahun lalu.
y .. tunggu, saya kesana

Kumasukan kembali handphone ke saku celana. Tak perlu aku membalasnya. Semua sudah jelas. Jam berapa, dimana,ada apa, bahkan kusebutkan juga durasi yang aku perlukan. Hanya 2 jam. Hanya 2 jam waktu yang ijinkan unuk diriku melukai dirinya sendiri sekali lagi. Demi sebuah ketuntasan. Demi sebuah penyelesaian. Demi sebuah rindu.

Setengah jam berlalu. Dan kini aku sudah sampai di Staisun Bekasi. Semua penumpang turun dengan tergesa disususl oleh sejumlah penumpang yang berebut masuk. Masih satu jam lagi dari janji yang aku buat. Semua terasa berat. Untuk itu aku memilih satu jam lebih cepat dari waktu yang sebenarnya. Rasanya aku ingin melahap ini perlahan. Keping-keping bahagia yang juga merupa sebuah kesakitan.

Lagu-lagu kenanganku masih mengalun. Memutar dan mengembalikan semua ingatan pada pertengahan 3 tahun lalu.

Stasiun kian jam kian ramai dengan penumpang. Seorang petugas kemanan stasiun tampak kualahan mengatur sejumlah rombongan ibu-ibu yang hendak naik kereta. Sepasang muda mudi tengah asik bergantengan. Si perempuan tampak dibuat kesal. Ia mencubit manja pasangannya yang disambut gelak tawa keduanya. Aku juga pernah merasakannya.

Tak terasa 30 menit sudah kuhabiskan. Masih tak ada pesan darinya. Dan akupun enggan memastikan apa-apa. Aku enggan berkomunikasi lebih jauh dari yang diperbolehkan oleh diriku sendiri. Setelah get out dan keluar stasiun segera kupanggil ojek. Aku langsung menyetujui harga yang ditawarkan si tukang ojek. Lebih mahal dari biasanya. Tapi sudahlah. Aku enggan berbicara dengan siap-siapa. Tidak tahukah hati ini nyaris loncat karena segumpal rindu selama 3 tahun akan dituangkan hari ini juga.

15 menit aku sampai pada sebuah pusat perbelanjaan yang belum lama diirikan ini. Sebuah mall besar yang juga memliki cabang di Serpong. Aku berhenti agak jauh dari pintu masuk. Sengaja, Rasanya aku ingin berjalan-jalan sebentar. Rasanya rasa gugup ini melebihi gugup yang kualami ketika akan presentasi dikantor tempatku berkerja.

Hawa dingin langsung menyapa saat pintu mall terbuka dengan sendirinya. Ada rasa nyaman yang dihadirkan. Langsung kualihkan langkah ini menuju tempat janjian kami. Sebuah resto dalam sebuah semcam food court di mall besar ini.

Jam janjian kami tinggal 15 menit lagi. Aku duduk dan memesan sebuah Green tea late. Kuedarkan pandaganku, tempat ini terbilang nyaman. Setiap resto berderet berjajar rapi dari ujung ke ujung. Bangku-bangku kayu menghampar didepanya. Di beberapa lokasi terlihat ada kolam ikan dengan makhluk cantik berwarna orange yang gemuali meliuk didalamnya. Ditengah terdapat bangku dari rajutan rotan dan sebuah meja dengan bahan serupa yang ditudungi payung besar berwarna merah guna menghalangi sinar matahari.

Siang sudah lewat diatas kepala. Beberapa muda mudi sudah terlihat menempati beberapa lokasi. Beberapa terlihat asik ngobrol, ada juga yang sedang diskusi dengan laptop yang terbuka  didepanya. 

Aku mengela napas pesananku sudah datang.
“ada lagi, mba ?” si pelayan menayaiku.

Aku menggeleng sambil brkata “tidak” dia lantas beranjak pergi. Ku kembali pandangi seliweran orang ddisekitarku. Langit mendadak mendung. Angin berembus kencang menggoyang payung-payung dan tenda yang berjajar rapi.

Handphoneku bergetar. Ada pesan darinya

“maaf saya telat, Bekasi macet banget” tulisnya dalamm pesan singkat itu.

“iya ga papa, saya sudah sampai” balasku cepat. Kembali kuletakan handphoneku. Sekilas kulihat jam pada layarnya sudah lewat 15 menit dari waktu yang kami janjikan. Tak apalah toh hari ini aku juga tidak ada janji dengan siapa-siapa. Selain denganya.

Gemulung awan kian menebal. Angin berhembus perlahan. Sepertinya sebentar lagi hujan. 30 menit berlalu dan dia kembali mengirimkan pesan singkat.

“aku sudah sampai, kamu masih distu kan?” tanya

“iya, mau kupesankan minum ?” balasku.

Tak berselang lama ia menjawab “ boleh, seperti biasa, ya ?”

Aku tersenyum kecil. Seperti biasa. Apa dia tak merubah kebiasannya sejak 3 tahun yang lalu. Kulirik seorang pelayan yang kebetulan berada tak jauh dari tempatku duduk. Ia berjalan kearahkaku. Tanpa melihat menu aku minta segelas teh panas dengan gula hanya sedikit. Kuberi analogi. Jika tehnya satu gelas ukuran sedang. Maka gulanya hanya seujung sendok. Tak boleh banyak. Ia tak suka manis. Meski ku pikir gula seujung sendok tak akan menberi pengaruh apa-apa.

Sang pelayan mengganguk pelan. Ia beranjak menuju ke dalam. Kembali kuamati deretan aksara pada layar handphoneku “ seperti biasa ,ya ?” dia pasti tahu aku tahu kebiasannya. Lebih dari siapaun. Lebih dari siapapun.

***

“sudah lama ya ? maaf buat kamu menunggu” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Di hadapanku kini sudah berdri seorang laki-laki dari masa laluku ia tampak menawan dengan T-Shirt hijau dengan celana pendek dibawah lutut. Rambutnya di sisir rapi, tapi tidak berlebihan seperti ketika datang ke hajatan. Bulu-bulu halus menghiasi jalur dagu sampai ke telinganya. Ia tak berubah. Keadaan yang berubah.

“iya, ga apa-apa” cepat kucoba menguasai diri. Kupersilahkan ia duduk. Mesti sebenarnya pantatnya sudah nayris menyentuh permukaan bangku ketika aku mengucapkan basa basi itu. Tak lama seorang pelayan datang dengan nampan berisi minuman. Cekatan, sang pelayanan menaruh minuman itu tepat dimeja didepannya.

“makasih” ucapku berbarengan dengan laki-laki didepanku. Pelayan itu hanya mengangguk seraya tersenyum. Mungkin ini lucu baginya. Kami sama-sama canggung sebelum akhirnya tertawa bersama.

“kita kompak ya. Masih sama kaya dulu”  mataku lekat padanya. Iya dulu bahkan kami selalu berlomba-lomba mengucapkan terima kasih lebih dulu ketika membeli sesuatu atau ketika bertemu orang yang menolong kami. Sebuah kebiasaan yang entah muncul sejak kapan. Tapi seperti hari ini. Kami pun selalu mengucapkan nyaris bersamaan. Sehingga selalu di akhiri pertengakaran kecil meributkan siapa yang lebih dulu mengucapkannya.

Ia cepat menyeruput teh panas didepannya. Diletakanya kembali teh tadi.

“kamu masih ingat betul, ya ? minuman kesukaan saya” tanya. Ia tersenyum. Senyum itu.
Aku mengulum senyum. Tak bersuara dan memang tak ingin terlihat terpuji.

“Kamu kesini sendiri ?” tanyaku sambil megaduk Green Late yang sudah setenaghnya ku habiskan dengan sedotan.

“Sama Arindi, Sama Rivan juga, tapi mereka sekarang lagi nonton. Maaf ya, ga bisa nemuin. Rivan katanya pengen nonton dinasourus terus”jawabnya” tadi telat juga soalnya harus nganter mereka ke atas buat nonton” lanjutnya.

“kamu ga ikutan nonton ?” ujarku. Seperti ada batu es yang menggelosor dalam dadaku mendengar kata “Arindi” dan “Rivan”

“Lah, aku kan mau nemuin kamu. Tadi juga udah bilang kok dan ngajakin Arin, tapi katanya dia ga mau ganggu. Haha. Mungkin Rivan kali yang bakal ganggu kita” ujarnya sambil tergelak. Ada pancaran bahagia yang tak pernah kusentuh lagi sejak 3 tahun lalu.

“ Rivan udah bisa apa aja ? umurnya sekarang 2 tahun kan ?” tanyaku” pasti sedang lucu-lucunya ya” lanjutku. Ku teguk green late yang entah kenapa menjadi lebih pahit.

“Sedeng bandel-bandelnya iya. Apa aja maunya dilempar. Untung aku punya istri yang tabah kaya Arin” Ia memandangku, kualihkan mataku ke arah gerombolan anak muda yang tengah bercanda di ujung sana”alhamdulillah, Rivan udah bisa jalan dan bicara, meski belum lancar-lancar banget, Arin nanyain kamu terus tuh, Rivan juga pasti mau ketemu tantenya” lanjutnya.

Ia tampak bahagia, bahagia

Dulu aku juga sempat mengecap kebahagiaan yang sama. Kebahagiaan yang tubuh tanpa aku sadari. 3 tahun mengenalnya. Aku tahu segalanya tentang dia. Pun dia juga demikian. Kami satu kantor dulu. Hanya beda divisi. Kami kerap jalan bersama. Dialah orang pertama yang menyapaku sewaku aku berkerja pada hari pertama. Dia yang mengenalkan aku dengan pemilik kontrakan yang aku tinggali selama 3 tahun.

Kontarakan kami hanya terpisah selapis tembok. Aku kerap bertandang ke kontrakannya. Dia juga sering bertamu ke kontarakanku. Bahkan, bisa dibilang waktunya di kontrakanku jauh lebih lama ketimbang dia berada di kontrakannya sendiri.

Semua berjalan bergitu menyenangkan kala itu. Dia yang perantauan dan akupun perantauan membuat kami merasa memliki kesamaan nasib yang membuat kami semakin dekat. Semua ia yang pertama negetuk pintu kontarakanku kala pagi datang. Dan dia pun yang terakhir menutupnya ketika malam melumat alam.

“Aku shock waktu kamu mendadak pergi, selama seminggu setelah lebaran, aku pikir kamu ga akan pernah ballk lagi kesini” ucapku tenang. Lebih tepatnya di tenang-tenagkan. Meski perasaaan bergolak bagaikan lava di rahim merapi.

Ia menghentikan memainkan gelasnya yang sudah kosong isinya. Ada jeda yang tercipta. Sepi memeluk kami.

“Aku juga shock waktu kamu mendadak pergi. Resign mendadak. Bahkan kamu tidak pamit padaku” Ucapnya datar. Jujur, aku kecewa ia mengemabalikan ucapanku. Harsunya ia yang menjadi terdakwa sore ini ”dan kamu seperti menghilang. Berkali ku telepon, ku sms, tapi kamu ga pernah menjawab”lanjutnya

“Aku pikir kamu tahu alasanku” kini bendunganku bocor. Air perlahan luruh dari sudut mata.

“Ya, aku tahu” Jawabnya singkat.

Ia tampak memperbaiki posisinya. Aku menunduk agar tangisku tak kentara dihadapanya.
Sebuah kehangatan menguasai tangan kiriku yang tergelatak di meja. Kupicingkan mata dan kulihat tangannya tengah menggengam tanganku. Tangan yang sama, perasaaan yang sama namun kondisi yang sudah sangat berbeda.

“Aku minta maaf tak pernah mengabarimu” ucapnya perlahan. Ada getar yang kurasa disana mungkin ia mencoba menguasai dirinya sendiri. “ maafkan aku yang terlalu takut jujur padamu”

Terlalu sakit. Ya, ia terus berbicara. Dan hanya sekilasku mendengarnya. Aku terlampau takut mendengar semua cerita darinya. Dan aku terlalu takut ia akan melepas genggaman tangannya. Dan kembali membuatku limbung seperti 3 tahun ini.

“Dia adalah wanita yang dipilih ayahku sebelum beliau meninggal dunia. Aku sangat menyayangi ayahku, dan aku tak mau mau mengecewakanya, ini adalah permintaan terakhir darinya” ucapnya. Kini ia terisak pelan. Matanya mendung. Mata yang selalu aku suka karena memancarkan keteduhan yang tak perlu kudapati lagi setelah tak lagi bersamanya.

Dan kini, mata teduh itu beriak dan akulah penyebabnya. Sungguh aku adalah wanita yang bodoh. Mampu menempatkan air mata pada mata seoarang yang aku cintai sepenuh raga.

“aku minta maaf Lisa” ucapnya seraya merunduk dan menarik tangannya dari tanganku.

Semua sudah terjadi. 3 tahun lalu kudapati kontrakannya tak berpenghuni. Seminggu setelah lebaran. Ia tak kunjung datang. Aku menunggunya. Membiarkan pintu kamarku tak kututup sampai jauh malam. Dan membukanya sebelum subuh berkumandang. Hanya untuk memastikan apa dia sudah kembali ke tempatnya. Apa dia sudah pulang

Aku melakukannya seminggu penuh sejak hari pertama dia tak ada. Ku tanya beberapa rekannya semua tak ada yang tahu. Pernah ada desas desus bahwa ia pulang kampung dan mungkin tak akan pernah kembali. Aku tak mau mengamininya sebab artinya aku memutus pengharapanku.

Berkali kuKirimi sms dan telepon. Bahkan ku stalking berhari-hari jejaring sosialnya. Namun ia tak ada nampak kabarnya. Aku nyaris depresi. Terbayang rasa sakit jika ia benar-benar tak kembali, lantas kenapa dia tak sekedar pamit terlebih dalulu.

Sampai suatu malam. Aku terbangun sebab terdengar suara pintu terbuka dari kontarakan sebelah. Terdengar suara laki-laki dan perempuan yang tengah berbincang. Tak berani, aku buka tirai yang menutup jedela sedikit, mengintip dari celah kecil. Disana ada dia, ya, dia laki-laki yang sudah membuatku gila hampir seminggu ini. Dan dia, bersama seorang perempuan yang tak kukenali sama sekali.

Semalaman aku tak bisa tidur. Ku coba menguping. Hanya sedikit yang mampu kudengar. Hanya suara laki-laki dan perempuan. Mereka tertawa bersama dan aku tak bisa tidur semalaman karenanya.

***

“Dia perempuan yang baik, jadilah suami yang sempurna untuknya”ucapku sambil memandangnya. Kini aku telah sepenuhnya menguasai diriku. “ aku mencintaimu saat itu, aku hanya kecewa kau tak pernah bercerita apapun tentang dia”

“Iya, aku sepenuhnya punya perasaan yang sama, namun ya .. ini yang terjadi” mataku dan matanya bertemu. Tiada lagi riak yang bergelantung dimatanya. Ia pun sepenuhnya sudah menguasai dirinya kembali.

Aku memandangnya dalam. Pun dia melakukan hal yang sama. Selama beberapa menit kami menyelami perasaan masing-masing lewat sebuah cermin dalam mata kami. Tak ingin ada suara, tak ingin ada kata. Hanya diam dan saling memahami lewat hati.

Mata yang dulu ku tatap dengan cinta, hidung yang acap kali kumainkan karena bentuknya yang menurutku aneh. Telinga yang sering ku jewer saat ku benar-benar gemas dengannya. Bahkan janggut yang beberapa kali kumainkan. Ah, betapa indah itu sederhana Tuhan.

“Aku mau kasih ini” ucapku seraya menyerahkan sebuah kertas berwarna hijau Tosca yang terbungkus plastik rapi. Ada namanya disana. Tak lupa juga istri sebagai pendampingnya.
Ia menghela napas “akhirnya” ucapnya. Ia meliriku cepat. Mencari kepastian bahwa aku sudah benar-benar yakin dengan pilihanku.

“InsyaAllah” ucapku perlahan. Kini semuanya teasa lebuh mudah. Kami masing-masing saling tahu dan saling paham perasaan masing-masing. Namun rasanya sangat hina bila kami mengkhianati pasangan kami yang sudah setia dengan hidup kami.

“rasanya menyenangkan sudah bebas” kulurkan tanganku ”kita sekarang sahabat” lanjutku yang dibarengi jabatan tangannya.

“Iya, senang bisa kembali bersahabat denganmu” wajahnya nampak ceria. Ia selalu tampan dimataku. Tapi ia tampan sebagai sahabatku. “Boleh aku menghubungi sekali waktu ?”
Aku menggangguk pelan mendengar pertanyaannya. Sejujurnya hati ini sebelumnya mampu

“Tapi biarkan aku hidup tanpamu” kuraih ponselku. Kubongkar bagian belakangnya. Kuambil Sim card didalamnya. Sudah kusiapkan saat ini. Cepat kurogoh tas dan mengambil benda bergagang hijau dan berujung runcing. Ku gunting sim card yang selama ini menghubungkan aku dengan masa lalu. 

Dengan masa bersamanya.

Ia tampak kaget, namun lekas ia memahami maksudku. kIni simcard itu tergeletak di meja kami dengan kondisi terbelah dua. Aku memandangnya dalam, “ maaf ” ucapku pelan.

Ia mengangguk pelan “ Tapi masih boleh kan ku simpan nomormu meski ini sudah tak aktif lagi”

Cepat kudekati ia dan memeluknya. Rasanya kangen ini sudah membuncah dan ini adalah penghabisannya. Biarlah energi rindu menjalari kami. Hanya sebentar dan ini yang terakhir. Ia tampak kaget kupeluk erat. Namun ketegangnnya mengendur dan ia malah mempererat pelukan kami. Tak lagi kami hiraukan pandangan aneh orang-orang sekitar. Kami hanya sahabatan. Hanya Sahabat.

Kulepaskan pelukannya. Ada air mata yang menitik. Begitupun ia berkaca dalam cermin matanya.

“Sudah ya?” Kataku seraya mengambil tasku “Aku pamit dulu, kau boleh datang ke pernikahanku, tak datangpun tak apa. Ini sudah lebih dari cukup untukku” lanjutku.

Ia tersenyum saat aku beranjak pergi. Sebuah pertemuan yang menjadi penghabisan rinduku. Setelah ini aku hanya boleh rindu paada suamiku, biarlah ia ku kunci rapat dalam berangkas masa lalu. Yang tak ingin kulihat atau kutengok lagi, biarkan ia dalam bentuknya saat ini. Bukankah sebuah kejadian akan menyenagkan jika dia terekam dalam bentuk kenangan ? itu yang sepenuh hati aku lakukan.

Pic Sc : https://mikesimagination.files.wordpress.com/2011/06/rain.jpg?w=549

1 komentar:

Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.