Pada akhirnya bau hujan tak lagi saya rasakan karena tanah-tanah terlalu sering diperkosa manusia sialan. Tapi memori yang muncul tetap saja beralur sama berirama serupa. Mengutuk atau bersyukur mungkin itu hanya pilihan sementara. Sebab yang utama adalah kau harus lebih dulu menerima.
2015 nyaris menyentuh ajalnya.
Musim hujan sudah mengungkung langit Bogor. Penghujung November yang basah di Kotaku
yang terkenal karena curah dan angkotnya. Petir kini rutin bertandang sehabis
Ashar sampai Isya menjelang. Kudapati diri kembali mengulang memoar kala hujan
deras menghujam tubuhku.
Saya adalah orang dengan sepenuh
penyesalan. Adanya banyak hukuman dari alam atas apa yang sudah saya lakukan
atau tidak saya lakukan. Pernah kalian merasa lelah mengejar semua ambisi
kalian. Kalian ingin berbalik dan cukup bersyukur saja ?
Sungguh saya tak sepenuhnya
percaya pada siapapun, pada apapun, Bahkan pada diri saya sendiri. Saya ingat
betapa saya sudah berusaha menjadi baik pada orang lain meski saya sadar itu
tetap tak cukup membuat saya pantas bersayap dan memiliki cincin besar keemasan
yang mengambang tenang di atas kepalaku.
Sejujurnya ingin sekali saya
jahat, hingga pada satu waktu akan muncul ekor dengan ujung seperti panah yang
terhunus, atau kulit yang memerah bak kepiting yang direbus atau tanduk sebesar
telunjuk yang keluar dari batok kepalaku atau trisula dengan ujung lancip
berwarna hitam yang sigap kugenggam erat.
Sudah terlalu banyak yang saya lalui
sampai saat ini. Tapi saya enggan menceritakan semua pada tulisan yang
sejatinya akan saya publikasikan. Saya enggan menceritakan apa yang terjadi
pada diri saya sepenuhnya. Meski terkadang seorang sahabat yang mau menemani
saya menghabiskan sore yang basah disebuah tempat semacam cafe dengan secangkir
coklat panas akan membuat saya sedikit girang melungsurkan beberapa bagian dari
ceritaku.
Saya adalah orang yang terlahir
melankolis, mungkin itu sudah mengalir dalam darah saya atau terbentuk begitu
saja sebagai karakter yang enggan enyah. Hujan selalu mampu membuat orang
semacam saya terpenjara dari memori. Sungguh saya adalah kerapuhan dalam medung
itu. Saya lebih mudah mengingat kejadian yang diawali, diselingi atau di akhir
dengan hujan.
Bertahun lalu saya dapati sebuah
kenyamanan dari sesorang. Seseorang yang mampu membuat saya melihat dunia dengan
berbeda. Benar kata ilmuwan jika orang jatuh cinta maka otaknya akan diselimuti
kebahagiaan. Kendati betapa tidak rasionalnya kebahagaian itu diciptakan.
Ini bukan kalimat puitik atau
sajak berima. Ini hanya ocehan singkat dari hati yang mendadak mendung ketika
gemulung mengungkung langitnya. Saya hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan
dan sebaiknya dikerjakan. Saya punya rencana, tapi hanya sebatas untuk material
saja. Ingin rasanya berjalan pada guyuran hujan agar saya dapat berdamai dengan
diri sendiri. Memaafkan atas luka yang kerap saya goreskan tanpa saya sadari. Bernegosiasi
dengan otak agar ia berkerja tak terlampau letih.
Pada akhirnya bau hujan tak lagi
saya rasakan karena tanah-tanah terlalu sering diperkosa manusia sialan. Tapi memori
yang muncul tetap saja beralur sama berirama serupa. Mengutuk atau bersyukur
mungkin itu hanya pilihan sementara. Sebab yang utama adalah kau harus lebih
dulu menerima.
Source Pic : http://setiahandaya.com/wp-content/uploads/2013/04/dibawah-hujan3.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.