Rabu, 18 November 2015

BAU HUJAN DAN SEKEDAR PENERIMAAN






Pada akhirnya bau hujan tak lagi saya rasakan karena tanah-tanah terlalu sering diperkosa manusia sialan. Tapi memori yang muncul tetap saja beralur sama berirama serupa. Mengutuk atau bersyukur mungkin itu hanya pilihan sementara. Sebab yang utama adalah kau harus lebih dulu menerima.


2015 nyaris menyentuh ajalnya. Musim hujan sudah mengungkung langit Bogor. Penghujung November yang basah di Kotaku yang terkenal karena curah dan angkotnya. Petir kini rutin bertandang sehabis Ashar sampai Isya menjelang. Kudapati diri kembali mengulang memoar kala hujan deras menghujam tubuhku.

Saya adalah orang dengan sepenuh penyesalan. Adanya banyak hukuman dari alam atas apa yang sudah saya lakukan atau tidak saya lakukan. Pernah kalian merasa lelah mengejar semua ambisi kalian. Kalian ingin berbalik dan cukup bersyukur saja ?
Sungguh saya tak sepenuhnya percaya pada siapapun, pada apapun, Bahkan pada diri saya sendiri. Saya ingat betapa saya sudah berusaha menjadi baik pada orang lain meski saya sadar itu tetap tak cukup membuat saya pantas bersayap dan memiliki cincin besar keemasan yang mengambang tenang di atas kepalaku.

Sejujurnya ingin sekali saya jahat, hingga pada satu waktu akan muncul ekor dengan ujung seperti panah yang terhunus, atau kulit yang memerah bak kepiting yang direbus atau tanduk sebesar telunjuk yang keluar dari batok kepalaku atau trisula dengan ujung lancip berwarna hitam yang sigap kugenggam erat.

Sudah terlalu banyak yang saya lalui sampai saat ini. Tapi saya enggan menceritakan semua pada tulisan yang sejatinya akan saya publikasikan. Saya enggan menceritakan apa yang terjadi pada diri saya sepenuhnya. Meski terkadang seorang sahabat yang mau menemani saya menghabiskan sore yang basah disebuah tempat semacam cafe dengan secangkir coklat panas akan membuat saya sedikit girang melungsurkan beberapa bagian dari ceritaku.

Saya adalah orang yang terlahir melankolis, mungkin itu sudah mengalir dalam darah saya atau terbentuk begitu saja sebagai karakter yang enggan enyah. Hujan selalu mampu membuat orang semacam saya terpenjara dari memori. Sungguh saya adalah kerapuhan dalam medung itu. Saya lebih mudah mengingat kejadian yang diawali, diselingi atau di akhir dengan hujan.

Bertahun lalu saya dapati sebuah kenyamanan dari sesorang. Seseorang yang mampu membuat saya melihat dunia dengan berbeda. Benar kata ilmuwan jika orang jatuh cinta maka otaknya akan diselimuti kebahagiaan. Kendati betapa tidak rasionalnya kebahagaian itu diciptakan.

Ini bukan kalimat puitik atau sajak berima. Ini hanya ocehan singkat dari hati yang mendadak mendung ketika gemulung mengungkung langitnya. Saya hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan dan sebaiknya dikerjakan. Saya punya rencana, tapi hanya sebatas untuk material saja. Ingin rasanya berjalan pada guyuran hujan agar saya dapat berdamai dengan diri sendiri. Memaafkan atas luka yang kerap saya goreskan tanpa saya sadari. Bernegosiasi dengan otak agar ia berkerja tak terlampau letih.

Pada akhirnya bau hujan tak lagi saya rasakan karena tanah-tanah terlalu sering diperkosa manusia sialan. Tapi memori yang muncul tetap saja beralur sama berirama serupa. Mengutuk atau bersyukur mungkin itu hanya pilihan sementara. Sebab yang utama adalah kau harus lebih dulu menerima.

Source Pic : http://setiahandaya.com/wp-content/uploads/2013/04/dibawah-hujan3.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.