AWAN Kumulus yang sedari siang mengawal langit utara Bekasi perlahan
merubah menjadi sekawan Stratus yang mengungkung langit Bekasi selepas
Ashar tadi. Rintik hujan malu-malu memulai invasinya sore ini.
Kacamataku mulai berembun. Sengaja aku tak membuka payung yang
sebenarnya tersimpan rapi di tasku. Aku ingin menikmati ini. Menikmati
hujan di pinggir jalan raya. Berjalan tanpa tujuan. Sebuah kebiasaan
yang sudah kumulai sejak SMP. Sejak menyadari betapa sulitnya perasaan
ini untuk dipahami.
Kukenang hidupku. Tahun-tahun yang
lewat sedemikian cepatnya. Tepat 2 minggu lagi ulang tahunku yang ke 21.
Sebuah usia yang bisa dibilang muda bagi sebagian orang. Tapi terlampau
tua untukku. Melihat tak banyak hal yang telah aku lakukan semasa 21
kali mengelilingi matahari bersama bumi.
Namanya
Annisa. Seorang gadis cantik yang biasa kupanggil Icha. Seorang
Mahasiswi sebuah PTS di daerah Depok. Aku mengenalnya sejak kami
sama-sama mengenyam pendidikan dibangku SMA. Icha anak yang ceria,meski
ia terkadang terlihat bodoh oleh sikapnya. Tapi bersamanya. Kau akan
menemukan keluguan yang jarang kau temui pada seorang wanita seusianya.
Semua
terjalin seperti biasa. Sikapku yang cuek membuatku tak menaruh peduli
saat ia mulai memberikan perhatian yang berbeda kepadaku. Mulai dari
pesannya yang membangunkanku di Subuh yang dingin. Sampai ajakannya
solat Magrib di senja yang temaram. Aku tak menyadari ada rasa yang
tengah ditanamnya.
****
Pantulan keemasan
dari lampu jalan di aspal yang legam membuat rima hujan yang kudengar
berbeda. Ada sendu yang dibahasakan disana. Sweeter Biru Tua yang
kukenakan sudah kuyup kebasahan, Pun dengan tas selempang cokelat yang
kukenakan. Dingin membekap tubuhku. Sudah 15 menit aku berjalan dibawah
guyuran hujan dan temaram lampu jalanan.
Beberapa tenda
warung makan yang biasa dijajakan disepanjang jalan ini mulai terlihat
geliatnya. Kuamati jam yang menempel dipergelangan tanganku. Baru jam 5
sore, tapi langit terlampau menghitam. Namun ada kehangat dibalik itu
semua.
Kubayangkan jika aku berada dirumah sesore ini
dengan hujan yang rutin mengguyur kami. Sebuah rumah kecil dipelosok
Bogor yang sejuk. Kami pasti berkumpul diruang keluarga yang juga satu
ruangan dengan ruang tamu. Aku, adikku, beserta kakak-kakakku dan tentu
saja kedua orangtuaku. Berkumpul saling menghangatkan diri. Bukan dengan
perapian atau diantara pemanas ruangan.
Obrolan ! ya,
itulah yang menghangatkan keberadaan kami. Mungkin dinginpun akan malu
jika harus menyelinap diantara derai tawa kami sekeluarga. Aku yang
selalu ribut dengan adikku. Kakakku yang sok bijak menegahi kami dan
tentu pandangan sendu ibu yang mengawasi gerak-gerik kami. Ahhh, betapa
aku merindu pada keluargaku.,
****
Awalnya
aku mengganggap biasa segala perhatian itu. Sampai suatu curhatan
dijejaring sosialnya mengajaku berpikir. Siapa gerangan lelaki yang
dibicarakannya ? selugu itukah jika memang aku yang dia bicarakan
padahal ia tahu aku juga terhubung dengan jejaring sosialnya sehingga
dapat dipastikan akupun tahu apa yang diceritakan lewat statusnya.
Seperti
puzzle, potongan itu kini membentuk dirinya. Merupa wujud yang
diciptakan oleh sang Penciptanya. Kini aku berada dalam satu simpulan
yang sejujurnya enggan aku amini. Dia menyukaiku. Kau pikir aku pasti
bahagia karena dicintai perempuan baik-baik yang jelas-jelas menerimamu
apa adanya.
Namun semua persoalan itu takkan sesederhana itu jika
kamu menyadari ada hal yang kurang disana. Yaa, hal yang amat penting
untuk sebuah kelangsungan hubungan laki-laki perempuan. Tak ada satupun
cintaku untuknya.
****
Beberapa kali kutemui
genangan kecoklatan yang terciprat jika ada pengendara yang melewatinya
dengan kecepatan tertentu. Jam pulang kerja. Wajar banyak kendaraan
yang hilir mudik melewatiku. Seorang laki-laki bersweeter Biru Tua yang
tengah berjalan dipinggir trotoar. Kuamati langit yang mengungkungku.
Semua abu-abu kehitaman yang sama. Rata dari langit utara sampai selatan
membawa warna yang sama dari barat sampai nun jauh di Timur sana.
Sepertinya matahari mesti mengalah tak nampak kecantikannya disenja yang
temaram ini. dipenghujung Desember yang basah.
****
Kini
aku tak nyaman, semua perhatiannya merumitkan pikiranku. Aku mulai
malas-malas membalas pesannya. Bukan apa-apa. Aku hanya takut tak bisa
memberi balasan yang setimpal untuk cinta yang diembannya. Aku takut
perhatianku menyulut api harapan dihatinya, ahh, enggan aku menyakiti
wanita sebaik dia.
Hubungan kami mulai meregang sejalan dengan
jarangnya kurespon setiap pesannya. Aku pikir ini jalan terbaik guna
memadam cintanya, ahh, picisan sekali semua ini. namun aku yang memang
tak berpengalaman dalam urusan percintaan memandang ini sebagai jalan
yang terbaik bagi kami.
****
Jika kau mau merasakan apa yang seniman bilang soal The Moment Of Silence maka
berdirilah, diam dan rasakan beberapa detik setelah Adzan Magrib
berkumandang. Saat sang muazin baru akan meletakan Microphone yang baru
saja digunakannya. Saat semua orang serentak terdiam mendengarkan suara
Adzan. Disanalah Diam Kudus itu bersemayam. Hanya beberapa detik memang. Namun jika kau mampu merasainya dengan seksama, maka beruntunglah kamu. The Moment Of Silence baru saja memelukmu.
Panggilan
Tuhan baru saja selesai dikumandangkan, nampak anak-anak kecil dengan
peci kebesaran serta bapak-bapak berbaju taqwa beriringan menuju masjid
yang nampak Anggun disirami cahaya lampu dan gemericik hujan. Aku
menghalau kakiku menuju tempat yang sama. Entahlah, dengan kondisi
sekuyup ini apa aku masih diperbolehkan shalat didalam
****
Berbulan-bulan
kami tak menuai komunikasi. Ia semakin jarang mengirimi pesan singkat
ke nomorku. Aku mulai sibuk dengan perkara lain. Aku mencoba fokus pada
pekerjaanku saja.
Sampai disuatu sore yang basah, semua
pekerjaanku telah rampung. Namun hujan diluar sana seperti tak
mengijinkanku beranjak dari ruang kerjaku. Kubuka kembali Akun jejaring
sosialku yang memang beberapa bulan ini jarang kutenggoki. Kutemukan
disana berupa-rupa status. Dari soal cinta, pekerjaan sampai mengkritisi
artis tertentu. Aku tersenyum simpul mengamati tiap polah teman-temanku
didunia maya. Sampai mata ini tertumpu pada satu nama dengan sebuah
status yang berisi petikan puisi yang sepertinya tak asing bagiku.
Annisa Suci
“Aku tanpamu tak lengkap, dan kamu tanpaku tak genap”
Kuingat-ingat
lagi. Ini adalah Puisi yang pernah aku kirimkan. Hanya sekedar membagi
karya terbaruku lewat pesan singkat kepada beberapa temanku termasuk
Icha. Aku klik namanya. Dan kubuka profilnya. Dan disanalah kutemukan
....
****
Aku duduk diberanda Masjid.
Tempias di lantainya membentuk pola abstrak. Menyembul satu-satu bak
peluh pekerja konstruksi. Aku duduk sembari mengeringkan diri. Ku seka
kacamataku yang sedari tadi berembun hebat sampai sulit aku melihat.
Aku
memutuskan shalat diberanda masjid, takut juga aku dimarahi kalau-kalau
sampai membuat karpet masjid itu basah karena kuyupnya baju dan tasku.
****
Ku
amati setiap deret statusnya. Ahhh, kenapa kamu jadi selemah itu ?
meski ia tak sekalipun menyebut namaku, tapi aku tahu, akulah laki-laki
yang melulu dia bahas distatusnya. Setelah sekian bulan aku
mendiamnkannya ia tetap bertahan dengan cintanya. Ah , sebodoh itukah
cinta ? atau sehebat itu ia sampai-sampai mampu melumpuhkan logika.
Miris aku melihatnya, apa yang berkecamuk dalam perasaanya kini.
Memendam cinta pada laki-laki yang tak mencintainya. Yang sialnya akulah
orangnya.
****
Maghrib mengela nafasnya
dalam kuyup hujan yang mungil. Dingin membekap sekujur tubuhku.
Mengirimi pesan ke otakku untuk sesegera mungkin menghangatkan diri.
Tapi aku masih mau disini. Menikmati tiap detik magrib di beranda
masjid. Apa kalian tahu ajaibnya masjid ? atau rumah Allah yang lain
macam Mushola. Kalian akan mendapatkan kedamaian yang sulit didefiniskan
disana. Kedamaian dari sebuah kesederhanaan.
Seorang
bapak tua menegurku, mungkin dilihatnya cukup menyedihkan kondisiku.
Melamun di beranda masjid dengan sekujur tubuh yang kuyup. Beliau
menawari handuk dan mengajaku masuk ke dalam. Aku menolaknya dengan
halus. Tak apa, kataku pada bapak tua yang kuduga adalah marbot atau
penjaga masjid ini. Aku hanya ingin disini. Megurai setiap masalahku
sendiri.
****
Sejujurnya aku bingung
menanggapi hal ini. Canggung aku dibuatnya. Antara kasihan, kagum, juga
aneh dengan cinta Icha. Kukirim pesan kepadanya. Menanyai kabarnya dan
bagaimana dengan studinya. Lama ia tak balas pesan ku. Sampai sekiran
jam 10 malam tatkala aku bersiap untuk tidur pesan dari Icha sampai di
Ponselku.
“aq baik kok, alhamdulillah, studi aku lancar, km sndri gmana ?”
Kuamati pesannya, nampak biasa meski sudah jarang ku balas pesannya.
“sy baik kq, alhamdulillah, km knp cha, galau ini statusnya, hehe :p”
Lama ia tak membalas, sekira 15 menit baru pesannya sampai di ponselku
“Iya nih, sayangnya yang digalauin kayaknya ga sadar-sadar deh”balasnya
“perlu disembur atau disram pake air kali biar dia sadar, hehe :D” jawabku
“Apa kamu mau terus bertahan mencintai dia ?” Tak sabar akhirnya aku mulai pertanyan itu
Tak lama ia membalas “aku tidak sedang menunggu, ataupun merasa di uji dengan cinta ini, jadi ga ada istilah bertahan atau menyerah”
“aku hanya menjalaninya. Itu saja” lanjutnya
“sampai kapan ?”tanyaku singkat
“sampai
satu saat dia mencintaiku atau aku menemukan laki-laki lain yang akan
aku cintai dan semoga ia pun mencintai aku, tapi kali ini biarkan aku
berbahagia sendiri dengan potongan yang aku miliki, mencintai ia sebatas
aku bisa, sebatas aku berhak, bolehkan ?”
Aku
terpaku membaca pesan singkat terakhirnya. Ia sudah mencapai kedewasaan
dalam percintaan – setidaknya menurutku- melebihi dari yang aku
pikirkan. Kini aku malah merasa kagum, namun aku tetap tak bisa membalas
cintanya. Belum untuk saat ini. Karena bisa jadi nanti berubah seperti
pintanya.
“ya, boleh” singkat kuakhiri percakapan
ini. Setelahnya ia hanya mengucapkan selamat tidur seperti kebiasaanya
dulu. Dan ku jawab dengan ucapan serupa. Kali ini aku tertidur dengan
senyum yang aku sendiri tak tahu kenapa
****
Adzan
magrib telah berlalu sekira 30 menit yang lalu. Kuputuskan untuk
pulang, tubuhku kini lumayan kering, hujanpun sepertinya mengijinkan aku
untuk kembali. Langit nampak bijak menghentikan prajurit mungilnya.
Ada
kosong yang kembali ku hela. Aku mencintai orang yang tak pernah
mencintaiku. Tapi aku ingin menikmati potongan yang aku punya, yang aku
bisa. Aku belajar dari sesorang yang ternyata lebih dewasa. Ah, cinta
begitu rumit. Kenapa Tuhan tidak menciptakan cinta hanya untuk mereka
yang memang benar-benar berjodoh ?
Langit sempurna gelap, hujan telah berhenti. Dan kini ku beranjak pulang.
PULANG ..
Gambar : Google Images
hmm nyimak aja gan
BalasHapus