Minggu, 28 Juli 2013

Hujan Di Ujung Bulan

AWAN Kumulus yang sedari siang mengawal langit utara Bekasi perlahan merubah menjadi sekawan Stratus yang mengungkung langit Bekasi selepas Ashar tadi. Rintik hujan malu-malu memulai invasinya sore ini. Kacamataku mulai berembun. Sengaja aku tak membuka payung yang sebenarnya tersimpan rapi di tasku. Aku ingin menikmati ini. Menikmati hujan di pinggir jalan raya. Berjalan tanpa tujuan. Sebuah kebiasaan yang sudah kumulai sejak SMP. Sejak menyadari betapa sulitnya perasaan ini untuk dipahami.

Kukenang hidupku. Tahun-tahun yang lewat sedemikian cepatnya. Tepat 2 minggu lagi ulang tahunku yang ke 21. Sebuah usia yang bisa dibilang muda bagi sebagian orang. Tapi terlampau tua untukku. Melihat tak banyak hal yang telah aku lakukan semasa 21 kali mengelilingi matahari bersama bumi.

****

Namanya Annisa. Seorang gadis cantik yang biasa kupanggil Icha. Seorang Mahasiswi sebuah PTS di daerah Depok. Aku mengenalnya sejak kami sama-sama mengenyam pendidikan dibangku SMA. Icha anak yang ceria,meski ia terkadang terlihat bodoh oleh sikapnya. Tapi bersamanya. Kau akan menemukan keluguan yang jarang kau temui pada seorang wanita seusianya.

Semua terjalin seperti biasa. Sikapku yang cuek membuatku tak menaruh peduli saat ia mulai memberikan perhatian yang berbeda kepadaku. Mulai dari pesannya yang membangunkanku di Subuh yang dingin. Sampai ajakannya solat Magrib di senja yang temaram. Aku tak menyadari ada rasa yang tengah ditanamnya.

****

Pantulan keemasan dari lampu jalan di aspal yang legam membuat rima hujan yang kudengar berbeda. Ada sendu yang dibahasakan disana. Sweeter Biru Tua yang kukenakan sudah kuyup kebasahan, Pun dengan tas selempang cokelat yang kukenakan. Dingin membekap tubuhku. Sudah 15 menit aku berjalan dibawah guyuran hujan dan temaram lampu jalanan.

Beberapa tenda warung makan yang biasa dijajakan disepanjang jalan ini mulai terlihat geliatnya. Kuamati jam yang menempel dipergelangan tanganku. Baru jam 5 sore, tapi langit terlampau menghitam. Namun ada kehangat dibalik itu semua.

Kubayangkan jika aku berada dirumah sesore ini dengan hujan yang rutin mengguyur kami. Sebuah rumah kecil dipelosok Bogor yang sejuk. Kami pasti berkumpul diruang keluarga yang juga satu ruangan dengan ruang tamu. Aku, adikku, beserta kakak-kakakku dan tentu saja kedua orangtuaku. Berkumpul saling menghangatkan diri. Bukan dengan perapian atau diantara pemanas ruangan.

Obrolan ! ya, itulah yang menghangatkan keberadaan kami. Mungkin dinginpun akan malu jika harus menyelinap diantara derai tawa kami sekeluarga. Aku yang selalu ribut dengan adikku. Kakakku yang sok bijak menegahi kami dan tentu pandangan sendu ibu yang mengawasi gerak-gerik kami. Ahhh, betapa aku merindu pada keluargaku.,

****

Awalnya aku mengganggap biasa segala perhatian itu. Sampai suatu curhatan dijejaring sosialnya mengajaku berpikir. Siapa gerangan lelaki yang dibicarakannya ? selugu itukah jika memang aku yang dia bicarakan padahal ia tahu aku juga terhubung dengan jejaring sosialnya sehingga dapat dipastikan akupun tahu apa yang diceritakan lewat statusnya.

Seperti puzzle, potongan itu kini membentuk dirinya. Merupa wujud yang diciptakan oleh sang Penciptanya. Kini aku berada dalam satu simpulan yang sejujurnya enggan aku amini. Dia menyukaiku. Kau pikir aku pasti bahagia karena dicintai perempuan baik-baik yang jelas-jelas menerimamu apa adanya.
Namun semua persoalan itu takkan sesederhana itu jika kamu menyadari ada hal yang kurang disana. Yaa, hal yang amat penting untuk sebuah kelangsungan hubungan laki-laki perempuan. Tak ada satupun cintaku untuknya.

****

Beberapa kali kutemui genangan kecoklatan yang terciprat jika ada pengendara yang melewatinya dengan kecepatan tertentu. Jam pulang kerja. Wajar banyak kendaraan yang hilir mudik melewatiku. Seorang laki-laki bersweeter Biru Tua yang tengah berjalan dipinggir trotoar. Kuamati langit yang mengungkungku. Semua abu-abu kehitaman yang sama. Rata dari langit utara sampai selatan membawa warna yang sama dari barat sampai nun jauh di Timur sana. Sepertinya matahari mesti mengalah tak nampak kecantikannya disenja yang temaram ini. dipenghujung Desember yang basah.

****

Kini aku tak nyaman, semua perhatiannya merumitkan pikiranku. Aku mulai malas-malas membalas pesannya. Bukan apa-apa. Aku hanya takut tak bisa memberi balasan yang setimpal untuk cinta yang diembannya. Aku takut perhatianku menyulut api harapan dihatinya, ahh, enggan aku menyakiti wanita sebaik dia.
Hubungan kami mulai meregang sejalan dengan jarangnya kurespon setiap pesannya. Aku pikir ini jalan terbaik guna memadam cintanya, ahh, picisan sekali semua ini. namun aku yang memang tak berpengalaman dalam urusan percintaan memandang ini sebagai jalan yang terbaik bagi kami.

****

Jika kau mau merasakan apa yang seniman bilang soal The Moment Of Silence maka berdirilah, diam dan rasakan beberapa detik setelah Adzan Magrib berkumandang. Saat sang muazin baru akan meletakan Microphone yang baru saja digunakannya. Saat semua orang serentak terdiam mendengarkan suara Adzan. Disanalah Diam Kudus itu bersemayam. Hanya beberapa detik memang. Namun jika kau mampu merasainya dengan seksama, maka beruntunglah kamu. The Moment Of Silence baru saja memelukmu.
Panggilan Tuhan baru saja selesai dikumandangkan, nampak anak-anak kecil dengan peci kebesaran serta bapak-bapak berbaju taqwa beriringan menuju masjid yang nampak Anggun disirami cahaya lampu dan gemericik hujan. Aku menghalau kakiku menuju tempat yang sama. Entahlah, dengan kondisi sekuyup ini apa aku masih diperbolehkan shalat didalam

****

Berbulan-bulan kami tak menuai komunikasi. Ia semakin jarang mengirimi pesan singkat ke nomorku. Aku mulai sibuk dengan perkara lain. Aku mencoba fokus pada pekerjaanku saja.

Sampai disuatu sore yang basah, semua pekerjaanku telah rampung. Namun hujan diluar sana seperti tak mengijinkanku beranjak dari ruang kerjaku. Kubuka kembali Akun jejaring sosialku yang memang beberapa bulan ini jarang kutenggoki. Kutemukan disana berupa-rupa status. Dari soal cinta, pekerjaan sampai mengkritisi artis tertentu. Aku tersenyum simpul mengamati tiap polah teman-temanku didunia maya. Sampai mata ini tertumpu pada satu nama dengan sebuah status yang berisi petikan puisi yang sepertinya tak asing bagiku.

Annisa Suci

Aku tanpamu tak lengkap, dan kamu tanpaku tak genap

Kuingat-ingat lagi. Ini adalah Puisi yang pernah aku kirimkan. Hanya sekedar membagi karya terbaruku lewat pesan singkat kepada beberapa temanku termasuk Icha. Aku klik namanya. Dan kubuka profilnya. Dan disanalah kutemukan ....

****

Aku duduk diberanda Masjid. Tempias di lantainya membentuk pola abstrak. Menyembul satu-satu bak peluh pekerja konstruksi. Aku duduk sembari mengeringkan diri. Ku seka kacamataku yang sedari tadi berembun hebat sampai sulit aku melihat.

Aku memutuskan shalat diberanda masjid, takut juga aku dimarahi kalau-kalau sampai membuat karpet masjid itu basah karena kuyupnya baju dan tasku.

****

Ku amati setiap deret statusnya. Ahhh, kenapa kamu jadi selemah itu ? meski ia tak sekalipun menyebut namaku, tapi aku tahu, akulah laki-laki yang melulu dia bahas distatusnya. Setelah sekian bulan aku mendiamnkannya ia tetap bertahan dengan cintanya. Ah , sebodoh itukah cinta ? atau sehebat itu ia sampai-sampai mampu melumpuhkan logika. Miris aku melihatnya, apa yang berkecamuk dalam perasaanya kini. Memendam cinta pada laki-laki yang tak mencintainya. Yang sialnya akulah orangnya.

****

Maghrib mengela nafasnya dalam kuyup hujan yang mungil. Dingin membekap sekujur tubuhku. Mengirimi pesan ke otakku untuk sesegera mungkin menghangatkan diri. Tapi aku masih mau disini. Menikmati tiap detik magrib di beranda masjid. Apa kalian tahu ajaibnya masjid ? atau rumah Allah yang lain macam Mushola. Kalian akan mendapatkan kedamaian yang sulit didefiniskan disana. Kedamaian dari sebuah kesederhanaan.

Seorang bapak tua menegurku, mungkin dilihatnya cukup menyedihkan kondisiku. Melamun di beranda masjid dengan sekujur tubuh yang kuyup. Beliau menawari handuk dan mengajaku masuk ke dalam. Aku menolaknya dengan halus. Tak apa, kataku pada bapak tua yang kuduga adalah marbot atau penjaga masjid ini. Aku hanya ingin disini. Megurai setiap masalahku sendiri.

****

Sejujurnya aku bingung menanggapi hal ini. Canggung aku dibuatnya. Antara kasihan, kagum, juga aneh dengan cinta Icha. Kukirim pesan kepadanya. Menanyai kabarnya dan bagaimana dengan studinya. Lama ia tak balas pesan ku. Sampai sekiran jam 10 malam tatkala aku bersiap untuk tidur pesan dari Icha sampai di Ponselku.

 “aq baik kok, alhamdulillah, studi aku lancar, km sndri gmana ?”

Kuamati pesannya, nampak biasa meski sudah jarang ku balas pesannya.

“sy baik kq, alhamdulillah, km knp cha, galau ini statusnya, hehe :p”

Lama ia tak membalas, sekira 15 menit baru pesannya sampai di ponselku

“Iya nih, sayangnya yang digalauin kayaknya ga sadar-sadar deh”balasnya

perlu disembur atau disram pake air kali biar dia sadar, hehe :D” jawabku

“Apa kamu mau terus bertahan mencintai dia ?” Tak sabar akhirnya aku mulai pertanyan itu

Tak lama ia membalas “aku tidak sedang menunggu, ataupun merasa di uji dengan cinta ini, jadi ga ada istilah bertahan atau menyerah

aku hanya menjalaninya. Itu saja” lanjutnya

sampai kapan ?”tanyaku singkat

sampai satu saat dia mencintaiku atau aku menemukan laki-laki lain yang akan aku cintai dan semoga ia pun mencintai aku, tapi kali ini biarkan aku berbahagia sendiri dengan potongan yang aku miliki, mencintai ia sebatas aku bisa, sebatas aku berhak, bolehkan ?”

Aku terpaku membaca pesan singkat terakhirnya. Ia sudah mencapai kedewasaan dalam percintaan – setidaknya menurutku- melebihi dari yang aku pikirkan. Kini aku malah merasa kagum, namun aku tetap tak bisa membalas cintanya. Belum untuk saat ini. Karena bisa jadi nanti berubah seperti pintanya.

ya, boleh” singkat kuakhiri percakapan ini. Setelahnya ia hanya mengucapkan selamat tidur seperti kebiasaanya dulu. Dan ku jawab dengan ucapan serupa. Kali ini aku tertidur dengan senyum yang aku sendiri tak tahu kenapa

****

Adzan magrib telah berlalu sekira 30 menit yang lalu. Kuputuskan untuk pulang, tubuhku kini lumayan kering, hujanpun sepertinya mengijinkan aku untuk kembali. Langit nampak bijak menghentikan prajurit mungilnya.

Ada kosong yang kembali ku hela. Aku mencintai orang yang tak pernah mencintaiku. Tapi aku ingin menikmati potongan yang aku punya, yang aku bisa. Aku belajar dari sesorang yang ternyata lebih dewasa. Ah, cinta begitu rumit. Kenapa Tuhan tidak menciptakan cinta hanya untuk mereka yang memang benar-benar berjodoh ?

Langit sempurna gelap, hujan telah berhenti. Dan kini ku beranjak pulang.

PULANG ..


Gambar : Google Images

1 komentar:

Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.