Sabtu, 10 Agustus 2013

30 MALAM ( Bagian I )

" Aku dilambungkan. Diajak bermain. Aku terlampau bahagia hingga lupa pada hukum Gravitasi. Gaya bahwa benda apapun di atas atmosfer akan ditarik oleh bumi, yang kemudian banyak dikenal sebagai fenomena benda jatuh. Dan akulah benda itu."


20 Juli 2012

Ini adalah tepat 30 hari sebelum kamu melepas masa lajangmu dan tepat 2 minggu setelah kamu pertama kali memberitahukanku perihal rencana pernikahanmu itu. Waktu itu kamu mengajakku ke sebuah warung kopi di pinggir jalan tak jauh dari tempat kita berkerja, katamu ada hal maha penting yang mau kamu ceritakan. Pada sore temaram dibulan Juli.  Sepulang kerja kamu mencariku. Berulang kali kamu memastikan agar aku tidak pulang terlebih dahulu. Sebab meski satu tempat kerja kita berbeda divisi.

Warung mungil itu adalah tempat favorit kita menghabiskan waktu dengan berbicara, ngobrol ngalur ngidul membahas apapun. Dan aku selalu suka apapun yang kita bahas asalkan itu bersama kamu. Tahukah kamu ? sejak hari itu tempat itu tak lagi jadi favoritku.

Kita bertemu saat tangan-tangan mungil waktu menunjuk pada angka 17.25. di depan gerbang dengan wajah sumringah kamu menemuiku. Awalnya aku pikir kamu menang lotre - - meski aku tahu kamu tidak pernah ikut hal-hal macam itu – tapi air mukamu begitu riang seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru. Ah senang sekali melihatmu sebahagia itu.

Seperti pertemuan kita selalu, kau mulai mengacak-acak rambutku dan mengocehiku soal lamanya kamu menungguku di loby kantor kami. Aku beri alasan kepadamu prihal keterlambatanku dan kau tak banyak komentar seperti biasanya mungkin karena engkau sedang senang pikirku.

Tak berapa lama kami berboncengan menuju tempat favorit kami. Sebuah warung kopi mungil berukuran 3 x 4 meter pada sebuah jalan protokol. Kami memarkir motor kami lantas masuk ke dalam. Tak banyak  orang didalam ketika kami datang. Hanya ada seorang pria berkemeja lusuh tengah meneguk segelas kopi dan mengunyah sepotong pisang goreng hangat – hal itu ku tahu dari uap yang masih terlihat dari ujung-ujung pisang gorang yang di gigitnya, mengepul luruh—bapak sekira 40tahunan itu mungkin penjual keliling yang tengah istirahat ditempat ini. Ah sudahlah, tak peduli juga aku.

Bu Marsiyem, pemilik warkop ini menyapa kami hangat. Ada hal lucu yang kami dapatkan dari beliau. Ia selalu memangilku dengan sebutan dek manis dan memangilmu dengan sebutan dek ganteng. Aduh, tak habis ku ledeki kamu sewaktu pertama kali kamu mendapat sebutan itu. Dan kau malah menggombaliku mendapati aku disebut “manis” oleh si ibu itu. Kau bilang ternyata bukan hanya dia yang matanya sehat. Si ibu itu juga, katamu aku memang benar-benar manis. Tahukah kamu setelah itu berminggu-minggu setelahnya aku selalu tersenyum setiap kali beranjak tidur demi mengingat gombalanmu itu.

Kami duduk di pojok dekat sekaleng kerupuk. Kamu memesan segelas susu dengan komposisi sedikit abnormal. 1 gelas air hangat dengan 4 sachet susu full cream. Ah aku tak tahu kenapa kamu begitu menyukai minuman aneh macam itu. Pernah kucoba meminum cairan itu. Hanya sekali ku teguk dan setelahnya tak berani aku sentuh lagi. Mual, dari kecil memang aku tak suka susu. Apalagi dengan komposisi ekstrim seperti itu.

Aku memesan segelas teh manis hangat. Normal bukan ? meski sedikit aneh. Kami di warung kopi tapi tak seorangpun memesan kopi diantara kami. Mungkin hal ini yang membuat bua Marsiyem mengenal kami sebagai pasangan diwarung kopi yang tak memesan kopi.

Kamu mengambil piring dan menyuruh bu Marsiyem mengambilkan beberapa potong pisau goreng panas – ya, panas karena kamu selalu tak mau memakan pisang goreng yang telah di taruh diwadah, katamu jorok, makanya kamu selalu meminta bu Marsiyem menaruh langsung pisau goreng yang baru matang dari penggoreng ke piringmu. Ya dengan konsekuensi selang beberapa menit kami baru bisa melahapnya, saking panasnya pisang goreng itu—

Tak ada kata yang kuucapkan. Aku menunggumu mengabariku hal penting yang membuatmu mengajakmu kesini. Kamu diam, seperti menimbang saat yang tepat. Akupun diam menunggu saat yang tepat itu.

“ini dek pisang gorengnya”

Suara bu Marsiyem memecah hening diantara kami. Dengan sigap kamu mengambil sepiring pisang goreng itu. Dengan tawah renyahmu kamu mulai mencubiti tubuh kuning keemasan pisang goreng itu.

“kamu mau ngomong apa ?” tanyaku akhirnya. Sungguh tak sabar dengan kabar “baik” yang ia ingin wartakan.

“gimana kerjaan kamu rin ?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“baik, udah buru ada apa sih ? katanya ada kabar baik, aku mau denger nih keburu magrib ntar” dumelku kesal.

Kamu diam, lantas menarik tas yang kau taruh serampangan di bawah bangku. Cukup lama kau merogoh kantungnya. Kau tersenyum tatkala benda mungil itu akhirnya kau genggam.

Dengan sumringah dan muka yang merona mau menunjukanku sebuah kotak kecil berwarna biru tua. Indah. Ku taksir harga kotak itu cukup malah apalagi isi didalamnya. Tapi apa,

“ini cincin, “ kau membuka kotak mungil itu sebelum rasa penasaranku memenuhi sekujur tubuhku.

Sebuah cincin  berwarna putih dengan berlian kecil ditengahnya. Setiap ulir dalam cincin itu begitu indah, seperti diukir dengan segenap perasaan oleh pembuatnya. Pastilah perempuan yang akan memakai cincin itu adalah yang teristiewa dihati si pemberinya.

Otakku memutar, aku menebak-nebak hal yang akan dilakukan setelahnya. Mungkin ia akan berlutut dan dengan suara bergetar ia akan mengatakan “will you marry me” atau dengan bahasa lokal macam” maukah kamu menjadi istriku” oh tuhan, aku begitu senang tak alang kepalang. Kulirik bu Marsiyem. Ia tersipu malu-malu, canggung ia sambil mengelap sebuah gelas dengan serbet kumal. Ku pikiri bu Marsiyem pasti memikirkan yang aku pikirkan juga. Oh Tuhan senangnya.

“aku mau melamar Lalu, aku ingin menikahinya, ini cukup pantas kan buat dia ?”kamu tersenyum. Matamu berujar bahagia dan mata itu kini tengah mencari jawabkan dari mataku.

Seperti bermain trampolin. Aku dilambungkan. Diajak bermain. Aku terlampau bahagia hingga lupa pada hukum Gravitasi. Gaya bahwa benda apapun di atas atmosfer akan ditarik oleh bumi, yang kemudian banyak dikenal sebagai fenomena benda jatuh. Dan akulah benda itu.

Dan aku terpuruk, lebih dari itu, aku seperti dibanting dari langit dan menghujam tanah. Sakit tak terkira.
Mataku seketika mengembang. Ku alihkan perhatianku pada pisang goreng, kucomot satu dan kulahap. Aku tak habis pikir apa yang harus ku lakukan. Mataku berair dan kau menyadarinya.

“kamu kenapa ? kamu nangis  ?” kamu bertanya sambil mengambil tisu yang berada tak jauh darimu.
Kulirik si ibu Marsiyem sepertinya ia mendengar percakapan kami. Ia memilih masuk ke dalam, tak tahu kini apa yang dipikirkannya.

“huhu, panas ya pisang gorengnya. Hahaha” aku tertawa. Kalian tahu ? tertawa sambil menangis itu meyakitkan.

“kamu ga apa-apa kan rin ?” tanyamu. Wajahmu mewartakan kekhwatiranmu. Ah tak usahlah kau mencemaskanku. Sebab apa juga pentingnya aku dimatamu.

“iya, aku ga apa-apa. Justru sekarang aku sangat bahagia. Sangat bahagia, akhirnya kakakku tercinta berani juga melamar anak orang” ku tepuk punggungnya. Ia tersenyum malu.

“ini bagus kan cincinnya ? kamu suka kan ? kalo dia kira-kira gimana ya ?” wajahmu masih mengguratkan kebingungan. Takut-takut salah pilih cincin.

“itu bagus , cantiiiik bangeeeeeet, kak Lalu pasti suka banget deh, dilihat dari ukurannya kayaknya pas sama ukuran jari kak shena. Ah sudah jodoh barangkali” aku mangatakannya dengan getas. Hambar. Rasanya lidah tak lagi berasa. Mungkin hujaman tadi turut juga mematikan beberapa syarafku.
Seketika kamu tercenung. Menatap dalam cincin itu. Perhatianmu seperti tersedot pada lingkaran kecil didalam kotak mungil. Bahkan kau belum menyentuh susu ekstrimmu itu.

Ruang ini kecil, dan sejak ia mengatakan kabar itu seketika ruangan ini terasa menciut. Kecil kecil sekali hingga sesak aku dibuatnya sebab tak ada udara yang mengalir didalamnya. Tak mampu aku lama-lama disini.

“aku pulang duluan ya ?” tanyaku sambil meneguk teh manisku. Kurogoh uang di dompetku “ biasa ya bu,”  teriakku

Terdengar sahutan “ya” dari dalam mungkin si ibu sedang sibuk menggoreng pisang lagi.

“kamu mau kemana ? bareng aja” tanyamu seraya menarik tanganku.

“aku udah ada janji sama Intan mau kekosannya, mungkin bakal nginep” ujarku sambil menaruh selembar 20ribuan kebawah piring pisang gorengku.

“bareng aku aja, biar aku anterin” ia tetap memaksa

“ga usah, deket kok, udah ya, tuh uangnya udah aku bayar. Dadah !” aku berlalu dari warung kopi itu. Masuk ke sebuah gang agar kamu tak mengikutiku. Gerimis mulai menyapa. Rintiknya nakal membasahi rambut dan sweaterku.

Ahh, langit. Apa yang terjadi hari ini.

Dengan terseok kulalui jalan tanpa arah tujuan. Kosan Intan tidak benar-benar dekat dari sini. Perlu naik angkot 20 menit untuk sampai. Biarlah, jalan kaki saja. Toh aku terlanjur cape dengan smua ini.


Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.