Kamis, 24 Januari 2013

HUJAN, SEBATANG ROKOK DAN KACAMATA


Sore itu. Masih tersisa hujan yang tiba sedari Ashar. Mencumbui tanah Bekasi yang meski sudah beberapa minggu ini memasuki musim penghujan namun jua tak terbasahi wajahnya. Jam beranjak dari pukul 18.00 WIB. Cepat kumatikan komputer yang sudah seharian ini tak lepas ku tatap. Pekerjaan hari ini menguras otakku. Harus mengurusi sekian banyak data dan laporan. Merunut history pemakaian spare parts. Pekerjaanku sebagai Pengontrol ketersedian spareparts menuntutku untuk teliti dan selalu mengecek jumlah stok barang-barang yang akan digunakan untuk perbaikan mesin.

Penat sudah terasa sekujur tubuh. Hembusan AC membelai tengkuku. Kuamati dari jendela tempat kerjaku hujan tak jua mengusaikan invasinya. Aku tersenyum. Bekasi jarang hujan. Dan aku yang berasal dari Kota Hujan sudah barang tentu senang tak alang kepalang saat melihat anak-anak langit itu bercanda memenuhi jalan dengan kecipak suaranya.

Kulihat atasanku juga mengusaikan pekerjaanya. Wajahnya letih. Kuakui belakangan ini kondisi kerjaan kami cukup buruk. Mendadak beberapa mesin harus berhenti dikarenakan kerusakan yang cukup parah. Kami berjalan menuju pintu keluar bersama. Seperti biasa kami mulai mebicarakan banyak hal. Sampai suatu pertanyaanku menghentikan langkahnya sesaat kami tiba tepat disebuah Ruang pompa air.


Gemericik air hujan belum selesai. Ia mulai mengeluarkan sebatang rokok. Menjepitnya dengan sela jari. Meletupkan korek gas. Pijaran singkat dari ujung rokok, bara yang mulai menyala  dan sedetik kemudian kepulan asap telah melayang didepan wajah letihnya.

“jadi ?” tanyaku memastikan bahwa kami akan membahas pertanyaanku barusan.

Dia tertawa kecil dan mulai memainkan rokoknya disela jemari.

“kenapa kita selalu berfokus pada orang lain sih Die ?” dia bertanya. Memanggilku dengan ujung namaku.

“maksud bapak apa ?” aku sebenarnya paham namun aku mau ia menjelaskan semua ini.

“kenapa kita selalu menunjuk orang lain berubah ? bukanlah lebih bermanfaat jika kita yang berubah. Kebaikan itu kan akan kita dapatkan sendiri.” Ujarnya sembari menghembuskan satu kepulan lagi.

“ bukannya itu hal yang wajar ya pak ? maksudnya, yaa, demi  kenyamanan kita juga kan ?” balasku dan menekan kata-kata akhirku untuk mempertegas jawabannya.

“wajar, tapi mau sampai kapan ? egois sekali kalau kita selalu menuntut orang lain berubah. Kita coba tengok diri kita. Mana lebih bermanfaat, sibuk menyalahkan tindakan orang lain atau menyibukan diri memperbaiki kualitas diri sendiri ?” matanya menatapku. Ah pertanyaan retoris. Aku benci tu.

“haha, fokus sama diri sendiri lah pa” jawabku sambil memperbiki letak kacamataku.

“nah kamu tahu itu” kami mulai beranjak dari tempat itu. Menuju gerbang untuk pulang. Aku masih memikirkan kata-kata atasanku. Apa benar, kita selama ini melulu berfokus pada orang lain. Sibuk menyalahkan orang lain atas kondisi yang kita terima.

“saya lebih tahu dari yang bapak kira” ujarku selama di perjalanan menuju gerbang.

“jadi kamu tahu siapa selingkuhan saya ?” ia tertawa. Lucu saat tawa itu keluar dari wajah letihnya

“tahulaaah, mau cabang yang mana yang saya sebutkan pa ?” ujarku membalas guyonannya.

Kami telah sampai. Saatnya mengabsen diri dengan sebuah alat absen otomatis.

“Die, tunggu dulu, makan yu ?” katanya mengajaku. Aku sudah absen lebih dulu. Namun ia mencegatku untuk pulang dan mengajaku makan.

 “ohh, dimana ?”

Kami berjalan cukup jauh. sesampainya disebuah tenda makan pinggri jalan kami berhenti.

“disini aja” ujarnya sambil memasuki sebuah tenda. Mengambil tempat duduk terdekat dan mulai memesan makanan kami. Seorang pelayan laki-laki mendekat. Atasanku mulai mengabsen menu yang ia pilih. “samain aja mas” jawabku saat pelayan laki-laki itu juga bertanya apa pesananku.

“ga kreatif !” ujar atasan sambil tergelak

“biarin, yang penting dibayarin. Hahahah”kami tertawa

Sedetik kemudian kami kembali terlibat obrolan membahas jawaban dari pertanyaanku.

“pa, capek ga sih ?” pertanyaan sepele tapi hasil dari sebuah kepenasaran yang besar.

Ia tersenyum. Kembali ia mengeluarkan sebatang rokok dan mengepulkannya kembali.

“ bukan capek atau enggaknya. Tapi ada atau tidaknya manfaat dari kecapen itu” jawabnya serius. “ banyak orang yang sibuk mencapekan dirinya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu”  lanjutnya

“misalnya ?” tukasku singkat

“ capek mikirin keadaan, capek  karena sibuk bertanya kenapa. Capek menyalahkan orang lain” ia memainkan bungkus rokok dimeja makan kami.” Mana yang lebih bermanfaat dibanding capek karena belajar, capek merubah keadaan, capek menyelesaikan masalah, capek memperbaiki diri” lanjutnya

Ah, pertanyaan retoris lagi. Aku benci

Aku tak menjawab. Aku biarkan dia melanjutkan kata-katanya.

“kadang kita salah melihat masalah, bukan salah pada masalahnya. Tapi dimana kita berdiri melihat masalah itu. Apa kita berdiri di sisi yang postif atau sisi yang negatif”

“tapi pa, kan banyak masalah yang justru diciptakan orang lain dan sialnya kita malah yang kena imbasnya.” Aku mengajukan pertanyaan. Berharap ia akan menjawabnya

“terus masalahnya dimana ? mau lihat negatifnya ? menyalahkan orang lain ? sibuk mencari kambing hitam ? atau menyelesaikan masalah itu. Menasehati orang yang melakukan kesalahn itu, Die, kamu percaya ga ? jsutru kita seharusnya berterima kasih pada orang yang membuat masalah itu.”

“kenapa pa ?” aku menyahut tidak terima

“kita akan dilatih lebih mampu menyelesaikan masalah. Dan belajar untuk tidak melakukan hal serupa atau juga memeperingatkan orang lain yang belum mendapatkan masalah itu untuk berhati-hati. Kita akan lebih mampu karena maasalah itu. Percaya Die, ga ada yang sia-sia dari yang Tuhan ciptakan. Termasuk masalah” jelasnya panjang lebar. Aku mendapat ilmu baru

Tak terasa makan kami siap. Sebuah menu yang mengundang untuk cepat-cepat melahapnya. Beberapa menit kami  sibuk mengunyah makanan masing-masing. Dan aku masih terjebak dengan kata-katanya barusan.

“Pa, misalnya, bapak udah melakukan yang bisa bapak lakukan tapi orang lain yang malah dapet pujiannya, gimana tanggapan bapak ? apa bapak akan sakit hati ?”

“sakit hati itu wajar, manusiawi Die, Tuhan menganugrahkan kita perasaan agar kita bisa peka terhadap lingkungan. Tapi apa lantas karena sakit hati kita malah jadi males-malesan, ngambek ? apa itu bermanfaat ? bukannya kita malah akan rugi berkali-kali lipat ? udah kemampuan ga bertambah karena kemalasan kita, kita dinilai negatif lagi sama orang lain, rugi banget kan ?” ia berbicara sambil sibuk mengunyah. Lucu sekaligus kagum. Yeah dia bisa berbicara tanpa tersedaak bahkan ketika mulutnya dipenuhi makanan.

“iya yah ? hahaha” aku kembali melahap makananku.

"Die, selama kita masih sibuk memepersoalkan masalah maka masalah itu akan terus mengikuti kita. Selesaikan satu-satu, lebih banyak belajar”

Aku terdiam. Karena masih fokus mencerna makanan dan juga mencerna kata-katanya.

Suara bising dari kendaraan yang berlalu lalang menghuni udara disekitar kami. Jam 8 malam, jumlah kendaraan berangsur berkurang. Jalanan tetap ramai.Daerah ini memang kawasan perantau. Kamu dapat dengan mudah menemukan kontrakan mungil yang sudah terisi dua atau tiga orang pemuda perantauan. Dan salah satunya aku. Maka tak heran disekitaran sini begitu banyak tempat makan hemat. Begitu membantu kami sebagai perantau mengisi perut kami.

Piring telah dihabiskan penghuninya. Kembali atasanku mencomot sebatang rokok terakhirnya. Mengulang kepulan yang memang sedari tadi rutin mengisi ruang diantara kami.

“Die, kamu tahu kapan perasaan cinta itu ada ? begitu kuat kehadirannya ?”

“kapan pa ? kumainkan kacamataku yang memang sejak awal memasuki tenda ini sudah kulepas. Kuperhatikan handphone yang kubawa sudah kehabisan daya.

“saat semua tertidur, kalau nanti kamu sudah punya istri. Coba deh liat ketika mereka tertidur. Secara ga sadar kamu akan terenyuh, melihat posisi tidur mereka. Wajar-wajah damai mereka. Kamu ga akan pernah sanggup menyakiti mereka” ku lihat ia memandang jauh kedepan. Aku tahu, atasanku pasti begitu rindu keluarganya. Ia tinggal terpisah. Ia bekerja disini sedang istri dan anaknya tinggal di kampung halaman.

“ pasti sedih ya pa ?”

“iyalah, semestinya jam-jam segini saya sedang berkumpul bersama keluarga. Melihat anak saya bermain dirumah dan ngobrol dengan istri saya” iamenghembuskan kepulan asap lagi. Namun kali ini lebih berat dari sebelumnya.

“kadang ketika saya pulang kampung dan bangun ditengah malam dan memandang wajah mereka. Rasanya tak sampai hati kalau saya menyakiti dia semisal menikah lagi. Kasih sayang yang seharusnya hanya untuk dia akan terbagi, padahal dialah orang yang paling menunggu saya selama ini. apalagi sampai saya punya anak, maka rasanya jahat sekali jika saya harus membagi kasih sayang yang semestinya sepenuhnya milik anak saya kepada anak lain.”

“pasti bapak sayang banget ya sama keluarga bapak ?” pertanyaan retoris yang justru kini aku ajukan

“pasti Die, saya ada disini karena rasa sayang saya kepada mereka. Merekalah salah satu motivasi saya”

Waktu berjalan cepat. Sudah hampir jam 9 malam. Artinya sudah 3 jam kami berbincang. Banyak hal yang aku dapatkan.

Letih yang mendera seakan terbayar oleh pelajaran yang aku dapatkan. Sebuah tenda Pecel Lele menjadi sebuah sekolah baru bagiku. Hujan sudah reda namun dinginnya masih begitu menyapa. Kilauan keemasan dari pantulan lampu jalan menghantar perjalananku pulang. Ah, entahlah, aku begitu mencela hidup ini padahal sepertinya tingkahkulah yang semestinya llebih patut dicela.

Semua pertanyaan itu sederhana. Ia bermula dan berakhir ditempat yang sama. Diri Kita Sendiri.

2 komentar:

  1. Shooting Casino - Shootercasino.com
    Shooting Casino. Our most recent addition to 제왕 카지노 먹튀 our list, the Casino has an amazing selection of exciting slots including video slots and table games. Read More.

    BalasHapus

Bagi yang bukan Blogger dapat memberi komentar dengan cara memilih form Name/URL pada link Berikan komentar sebagai :
isi Name dengan Nama lalu isi Url dengan Link Facebookmu.