Belakangan
ini perbincangan menyoal perkewongan alias pernikahan kian santer
ditempat saya kerja. Alasannya karena memang jumlah lajang non pacar
maupun lajang dengan pacar jumlahnya terbilang sangat sedikit. Jadilah
isu jodoh-jodohan ini makin asyik dikemukakan oleh segelintir pihak yang
merasa dirinya sudah terlebih dahulu laku.
Saya
termasuk yang gencar menjadi korban bully tersebut. Saya yang memang
dasarnya ga terlalu memberi lahan khusus untuk mikirin soal begituan
jadi sedikit kepikiran. Terlebih beberapa teman terdekat saya kebanyakan
sudah tidak lagi single – sebuah eufemisme dari kata jomblo – sehingga
begitu kerasa saat mengajak mereka main lantas mereka tidak bisa dengan
dalih sudah ada janji dengan pasangan masing-masing.
Kembali
ke urusan pernikahan. Bagi saya, nikah bukan cuma menyoal urusan
selangkangan dan pembuktian kejantanan. Dengan dalih menghindari maksiat
atau sudah terlanjut maksiat, banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi
berbondong-bondong bikin buku merah ijo itu. Padahal nyatanya nikah
tidaklah sesederhana itu. Saya tidak bermaksud memperumit pernikahan
tapi saya merasa bahwa kita tidak bisa lantas meremehkannya juga.